Breaking News
Loading...
Jumat, 24 Juni 2011

Bentuk Ungkapan Hadis Nabi

Jumat, Juni 24, 2011
MODEL UNGKAPAN HADIS NABI


A. Pendahuluan
Secara realitas, Hadis Nabi di satu sisi telah menjelma menjadi sebuah teks berbahasa Arab. Ia lahir dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika masyarakat Arab mampu memahami pesan yang terkandung di dalam Hadis itu.
Di sisi yang lain, Hadis yang sekarang telah berbentuk tulisan yang telah terkodifikasi, merupakan fenomena linguistik. Terlepas dari ini, pernyataan di atas dapat dijadikan argumen bahwa kemampuan berbahasa Arab menjadi salah satu syarat dalam memahami Hadis. Karena itu pula, maka bahasa menjadi salah satu fenomena kajian yang sarat dengan multi-interpretasi.
Ditinjau dari sisi bentuk bahasa matan, Hadis ada yang berupa jami’ al-kalim (ungkapan yang padat), tamsil (perumpamaan), bahasa simbolik (ramzi), bahasa percakapan (dialog), ungkapan analogi (qiyasi) dan lain-lain.
Dengan melihat beragamnya bentuk ungkapan Nabi, maka di bawah ini akan dicoba dijelaskan maksud dari ungkapan-ungkapan di atas. Namun dalam hal ini, hanya difokuskan pada pembahasan ungkapan simbolik, dialog, dan analogi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ungkapan simbolik dalam Hadis Nabi?
2. Apa yang dimaksud dengan ungkapan dialog dalam Hadis Nabi?
3. Apa yang dimaksud dengan ungkapan analogi dalam Hadis Nabi?






C. Bentuk Ungkapan Hadis Nabi
1. Ungkapan Simbolik
Secara bahasa, simbolik berarti simbol atau lambang. Sedang secara istilah ilmiah, simbolik berarti gaya bahasa yang melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau pelambang.
Selain ungkapan al-Qur’an yang terkadang memiliki bentuk ungkapan simbolik, ungkapan Hadispun kenyataannya memiliki ungkapan demikian. Hal ini dibuktikan dengan adanya ungkapan Nabi yang memakai simbol atau lambang tertentu untuk melukiskan objek yang akan diungkapkannya. Namun, pengakuan bahwa sebuah Hadis terkadang memiliki bentuk ungkapan simbolik, telah menimbulkan pro-kontra pendapat. Bagi kelompok yang memahami Hadis secara tekstual, cenderung kontra terhadap ungkapan simbolik tersebut.
Sebagai contoh bentuk ungkapan simbolik dalam Hadis Nabi adalah sebagai berikut:
عن ابن عمر أن رسول ألله ص.م ذكر الدجال بين ظهرني الناس. فقال: ان الله تعالى ليس بأعور. الا, وان المسيح الدجال أعورالعين اليمنى كأن عينه عنبة طائفة. (رواه البخارى)
Dari Abnu Umar bahwa Rasulullah menyebut Dajjal di hadapan orang banyak. Kemudian Rasul bersabda: “sesungguhnya Allah tidak buta sebelah mata. Ketahuilah, bahwa Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedang matanya seperti buah anggur yang timbul”.

Ungkapan yang menunjukkan bahwa Allah tidak buta sebelah mata, merupakan bentuk ungkapan simbolik. Dalam ungkapan ini, Nabi berusaha menjelaskan bahwa Allah tidaklah cacat seperti Dajjal, melainkan Allah Maha Sempurna. Namun, yang menjadi permasalahan adalah ungkapan Nabi tentang “Allah tidak buta sebelah mata”. Hal ini jika dipahami secara tekstual, maka bertentangan dengan prinsip dasar bahwa Allah suci dari segala sifat yang manyamakan-Nya dengan makhluk . Oleh karena itu, kelompok kontekstualis lebih memahami ungkapan ini sebagai bentuk “simbol” (bukan makna sesungguhnya) yang digunakan Nabi untuk menjelaskan sesuatu. Dengan demikian, ungkapan “mata Allah” oleh kelompok kontekstualis lebih sesuai jika diartikan sebagai kekuasaan Allah.
Demikian juga dengan ungkapan “Dajjal itu buta matanya sebelah kanan”, menurut kelompok kontekstualis, dinyatakan sebagai ungkapan simbolik. Ungkapan semacam itu, oleh mereka diartikan sebagai keadaan Dajjal yang penuh ketimpangan, para penguasa pada saat itu bersifat lalim, kaum dhuafa tidak diperhatikan, amanah dihianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya telah melanda di tengah masyarakat.
Hal ini sangat berbeda dengan pandangan kelompok tekstualis. Kelompok tekstualis lebih memahami keadaan itu –yakni bentuk mata Dajjal yang buta sebelah kanannya- sebagai bentuk fisik Dajjal. Dalam berbagai kitab penjelas Hadis, Dajjal adalah makhluk yang gambar fisiknya antara lain sebagaimana yang disebut oleh berbagai matan Hadis.
Contoh kedua, peristiwa “turunnya Allah” ke langit dunia di sepertiga malam terakhir. Dalam sebuah Hadis dinyatakan:
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة الى السماءالدنيا حين يبقى ثلث الليل الاخريقول: من يدعونى فأستجيب له من يسألنى فأعطيه من يستغفرنى فأغفرله. (رواه مسلم)
Tuhan kita Allah tabaraka wa ta’ala setiap malam turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Allah berfirman: “barangsiapa yang berdoa kepadaku, niscaya aku kabulkan doanya itu, barangsiapa yang meminta sesuatu kepadaku, niscaya aku akan memberinya, barangsiapa yang meminta ampun kepadaku, niscaya aku akan mengampuninya”.

Ketika Hadis di atas dipahami secara tekstual, maka akan tergambar bahwa Allah melakukan aktifitas “naik turun” ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir. Hal ini tentunya akan berakibat fatal karena menyamakan Allah pada makhluk yang bisa naik turun. Oleh karena itu, ulama yang memahami dengan model demikian (literal) cenderung menolak keotentikan teks Hadis tersebut. Padahal seandainya jika mereka keluar dari pemahaman yang literalis menuju pemaknaan kontekstual, akan tampak bahwa sebenarnya makna Hadis tidaklah demikian, sehingga tidak langsung mengatakan bahwa Hadis tersebut tidak lagi otentik karena merusak citra Tuhan.
Secara kontekstual, makna “turunnya Allah” kelangit dunia diartikan sebagai limpahan rahmat-Nya. Alasan yang dipakai ketika memilih waktu sepertiga malam sebagai waktu turunnya Allah, adalah karena waktu demikian merupakan saat-saat yang mudah untuk memperoleh suasana khusyuk (tenang, damai) dalam beribadah dan berdoa, sehingga dengan keadaan yang penuh kekhusyukan tersebut, kehadiran limpahan rahmat Allah mudah tercapai. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa limpahan rahmat Allah hanya terjadi pada sepertiga malam saja, melainkan turunnya rahmat Tuhan sebenarnya tidaklah dibatasi waktu. Akan tetapi Nabi menyebut waktu tersebut adalah dengan maksud menunjukkan kekhususannya dari waktu-waktu yang lain.
Contoh ketiga, perbedaan bentuk usus orang mukmin dengan orang kafir. Dalam sebuah Hadis dinyatakan:
المؤمن يأكل فى معى واحد. والكافريأكل فى سبعة أمعاء. (رواه الترمذى)
Orang beriman makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.

Makna Hadis di atas, -menurut paham kontekstual- sangat tidak mungkin jika diartikan secara tekstual, karena jika demikian pemaknaan yang dipakai, maka akan menimbullkan sebuah pemahaman bahwa usus orang beriman berbeda dengan usus orang kafir. Hal demikian tentunya bertentangan dengan kenyataan yang terjadi. Perbedaan bentuk tubuh manusia tidak disebabkan oleh perbedaan iman. Oleh sebab itu, ungkapan Hadis di atas merupakan ungkapan simbolik yang mengharuskan dipahamai secara kontekstual.
Pemahaman terhadap perbedaan bentuk usus, secara kontekstual dinyatakan sebagai perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk ketika makan. Orang beriman memandang makan bukan sebagai tujuan hidup, sedangkan orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari tujuan hidup. Di samping itu, dapat dipahami juga bahwa orang beriman selalu bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk ketika makan, sedangkan orang kafir mengingkari nikmat yang dikaruniakan Allah kepadanya.
2. Ungkapan Percakapan (dialog)
Berdasarkan sebuah fakta, bahwa Nabi bukanlah manusia terasing yang hidup di lingkungan tertentu, melaikan Nabi hidup membaur di tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya dan pengalaman baik agama maupun keduniawian yang berbeda. Oleh karena itu, tidaklah heran jika banyak dijumpai Hadis-hadis yang matannya menunjukkan “gaya bahasa dialog” dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Sebagai contoh, berikut ini akan dikemukakan beberapa Hadis yang berisi ungkapan dialog tersebut.
أن رجلا سأل النبي ص.م: أي الاسلام خير؟ قال: تطعم الطعام وتقرأالسلام على من عرفت ومن لم تعرف. (رواه النساء)

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “amalan Islam manakah yang lebih baik?”, Nabi manyawab: “kamu memberi makan orang yang membutuhkan, dan kamu mengucapakam salam kepada orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal”.

Dalam ajaran Islam yang universal, memberi makan orang yang membutuhkan dan mengucapkan salam baik pada yang dikenal maupun tidak dikenal, merupakan sebuah amalan yang baik. Namun dalam hal sebagai “amalan yang lebih baik” agaknya hal ini hanya bersifat “temporal”. Hal ini disebabkan adanya beberapa matan Hadis yang memiliki problem sama, tetapi solusi yang diberikan Nabi berbeda-beda, sesuai dengan keadaan “lawan bicara”. Problem ini tampak dari adanya Hadis “amalan yang lebih baik” yang memiliki solusi yang berbeda sebagaimana tersebut di bawah ini:
قالوا: يارسول الله, أي الاسلام أفضل؟ قال: من سلم المسلمون من لسانه ويده. (رواه احمد)

Para sahabat Nabi bertanya: “Ya Rasulullah, amalan Islam manakah yang lebih utama?”, Nabi menjawab: “yaitu seseorang yang tidak menganiaya dan mengolok atau menggunjing kaum muslim”

Demikian pula pertanyaan dengan problem sama, namun solusi yang diberikan berbeda, sebagaimana berikut ini:
أن رسول الله ص.م سئل: أي الاسلام أفضل؟ فقال: امان بالله ورسوله. قيل: ثم ماذا؟ قال: الجهادفى سبيل الله. قيل: ثم ماذا؟ قال: حج مبرور. (رواه مسلم)

Bahwa Nabi ditanya oleh sesorang: “Amal apakah yang paling utama?” Nabi menjawab: “beriman kapada Allah dan Rasul-Nya”. Nabi ditanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi manjawab: “jihad di Jalan Allah”, Nabi ditanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi menjawab: “Haji mabrur”.

Selanjutnya, dijumpai pula pertanyaan dengan problem sama, namun solusi berbeda, sebagaimana berikut:
عن عبدالله بن مسعود قال: سألت النبي ص.م: أي العمل أحب الى الله؟ قال: الصلاة على وقتها. قال: ثم أي؟ قال: بر الوالدين. قال: ثم أي؟ قال: الجهادفى سبيل الله. قال: حدثنى بهن ولواستزدته لزادنى. (رواه البخارى)

Dari Abdullah Ibn Mas’ud, dia berkata: “saya bertanya kepada Nabi, amalan apa yang labih disukai Allah?” Nabi menjawab: “shalat pada waktunya”, bertanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi menjawab: “berbakti kepada kedua orang tua”, bertanya lagi: “kemudian apa lagi?”, Nabi menjawab: “jihad di jalan Allah”, Ibn Mas’ud berkata: “Nabi telah mengemukakan padaku tentang amal-amal utama itu, dan seandainya saya minta ditambahkan lagi, niscaya beliau menambahkan lagi (untuk memenuhi permintaan saya itu)”.

Berdasarkan empat fakta Hadis di atas, dapat dipahami bahwa solusi yang diberikan Nabi terkait problem pertanyaan yang sama sangatlah berbeda-beda. Di samping itu, dapat dipahami pula bahwa sebuah pertanyaan yang memiliki maksud yang sama ternyata jawaban yang diberikan dapat saja berbeda-beda.
Menurut M. Suhudi Ismail, perbedaan materi jawaban sebenarnya tidaklah bersifat substantif. Sedang yang substantif hanya memiliki dua kemungkinan, pertama: relevansi antara keadaan orang yang bertanya dengan materi jawaban yang diberikan. Kedua, relevansi antara kelompok msayarakat tertentu dengan materi jawaban yang diberikan.
Kemungkinan yang disebut kedua, mempertimbangkan bahwa jawaban Nabi merupakan petunjuk umum bagi kelompok masyarakat yang keseharian mereka menunjukkan gejala yang perlu diberikan bimbingan dengan menekankan perlunya dilaksanakan amalan-amalan tertentu. Bagi yang bertanya, hanya berfungsi sebagai “wakil” dari keinginan untuk memberikan bimbingan kepada kelompok masyarakat tertentu.
3. Ungkapan Analogi
Di samping ungkapan simbolik atau dialog, Hadis Nabi pun memiliki bentuk ungkapan Analogi. Analogi secara bahasa diartikan sebagai kesamaan, keserupaan, atau perbandingan. Sedang menurut istilah, ialah perbandingan secara kias dengan bentuk yang sudah ada.
Dalam ungkapan analogi tersebut, terlihat adanya hubungan ungkapan yang sangat logis. Salah satu bentuk “nalar logis” yang biasa dipraktikkan Nabi dapat dijumpai, sebagaimana contoh Hadis berikut.
Ketika ada seorang laki-laki dari bani Fazarah mengadu kepada Nabi. Lelaki tersebut berkata: “sesungguhnya istri saya telah melahirkan seorang anak laki-laki, kulitnya hitam. Saya menyangkalnya (karena kulitnya berbeda sekali dengan kulit saya)”. Dari pertistiwa itu, terjadilah dialog antara Nabi dan lelaki tersebut. Dialog tersebut sebagaimana yang terekam dalam sebuah Hadis:
قال: هل لك من ابل؟ قال:نعم, قال: فماالوانها؟ قال:حمر.قال:هل فيها من اوراق؟ قال: ان فيهالورقا. قال: فانى ترى ذلك جاءها.قال: يا رسول الله عرق نزعها. قال: ولعل هذاعرق نزعه ولم يرخص له فى الانتفاء منه. (رواه ابن ماجه)

Nabi bertanya: “apakah kamu mempunyai unta?”, lelaki tersebut menjawab: “ya”. Nabi bertanya lagi: “apa warna untamu itu?”, lelaki tersebut menjawab: “merah”, Nabi bertanya lagi: “apakah (mungkin untamu itu) dari (keturunan unta) yang berkulit abu-abu?”, lalaki tersebut menjawab: “sesungguhnya (dapat saja) unta itu berasal dari (unta yang) berkulit abu-abu”. Nabi bersabda: “maka sesungguhnya saya menduga juga (bahwa unta merah milikmu itu) berasal dari (unta yang berkulit abu-abu tersebut)”, lelaki itu berkata: “Ya Rasul, keturunan (unta merahku itu) berasal darinya (yakni unta abu-abu tersebut)”. Nabi lalu menyatakan: “(masalah anakmu yang berkulit hitam itu) semoga berasal juga dari keturunan (nenek moyang)nya; dan (nenek moyang anakmu yang kulit hitam) tidaklah menurunkan keturunan yang menghilangkan (tanda-tanda keturunan) darinya.

Dalam Hadis di atas, terlihat bahwa Nabi tidak memberikan jawaban secara langsung. Akan tetapi, Nabi menggunakan pernyataan analogi, sehingga mengharuskan seorang lelaki tersebut berfikir dan menemukan jawaban dari proses berfikirnya tersebut. Inilah sebenarnya salah satu keistimewaan Nabi, yakni tidak langsung memberikan jawaban secara instan, melainkan memberikan kesempatan seseorang untuk melatih fikiran agar tidak cenderung “manja” dan mematikan potensi akal.

D. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka pembahasan makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ungkapan simbolik pada Hadis adalah gaya bahasa yang dipakai Nabi dengan maksud melukiskan suatu benda dengan mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol. Hal tersebut dapat terlihat dari ungkapan Nabi tentang “mata Allah” sebagai simbol dari kekuasaan Allah.
2. Ungkapan dialog pada Hadis adalah gaya bahasa yang dipakai Nabi dengan maksud mendidik atau merubah baik personal maupun kelompok dengan memakai unsur dialog yang memandang keadaan “yang diajak berdialog”. Sebagaimana contoh pertanyaan tentang “keutamaan amal” yang inti dari pertanyaan tersebut sama, akan tetapi jawaban Nabi berbeda-beda sesuai dengan ‘lawan” yang diajak bicara (dialog).
3. Ungkapan Analogi pada Hadis adalah bentuk gaya bahasa yang dipakai Nabi dengan cara mengkiaskan sesuatu dengan sesuatu tertentu, agar memudahkan pemahaman atau melatih daya nalar. Sebagaimana contoh problem keturunan seseorang yang berbeda fisik, dikiaskan dengan problem keturunan unta yang berbeda fisik. Dengan maksud menjelaskan, akan tetapi dengan jawaban logika berfikir.





















DAFTAR PUSTAKA


Bakr, Sayyid Salih Abu. Tt. Menyingkap Hadis-hadis Palsu, terj Muhammad Wakid. Surakarta: Mutiara Solo.

Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-. 1998. Sahih al-Bukhari, Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah.

Dawud, Abu. 1998. Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar Ibn Hazm.

Hajjaj, Abu al-Hasan Muslim bin al-. 1992. Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr.

Hambal, Abu Abdullah Ahmad Ibn. 1978. Musnad Ahmad Ibn Hambal, Beirut: al-Maktab al-Islami.

Ismail, M. Syuhudi 1993. Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang.

-----------, 1994. Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang.

Majah, Abu Abdullah Muhammad bin Yazid ibn. Tt. Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr.

Nasa’i, Abu Abd al-Rahman Ahmad al-. tt. Sunan al-Nasa’i, Beirut: Dar al-Fikr.

Partanto, al-Barry, Pius A. dan M. Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola.

Syadali, Rafi’i, Ahmad. dan Ahmad. 2006. Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia.

Syafruddin, U. 2009. Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual; Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tirmidzi, Abu Isa Muhammad Bin Isa al-. 1978. Sunan al-Tirmidzi, .tk: Matbaah Mustafa al-Babi al-Halabi.

TOT PSQ dan STAIN Surakarta. 2008. Pola Interaksi dengan al-Qur’an dan Sunnah, Solo: tp.



Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), 708.
M. Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma’ani Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 13.
Kelompok tekstualis ialah kolompok yang lebih mengedepankan paradigma berfikir, baik cara, metode, maupun pendekatan yang mengacu pada teks atau makna harfiah teks. Kelompok seperti ini dalam memahami teks-teks keagamaan, baik al-Qur’an ataupun Hadis, cenderung pada tiga prinsip dasar. Pertama, keharusan berpegang teguh pada lahiriyah teks. Kedua, maksud teks yang sebenarnya terletak pada yang zahir, bukan di balik teks yang perlu dicari dengan penalaran mendalam. Ketiga, mencari sebab di balik penetapan syariat adalah sebuah kekeliruan. Lihat U. Syafruddin, Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual; Usaha Memaknai Kembali Pesan al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 41. Lihat pula TOT PSQ dan STAIN Surakarta, Pola Interaksi dengan al-Qur’an dan Sunnah, (Solo: tp, 2008).
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyah, 1998 M/1419 H), juz IV, 278.
Ismail, Pemahaman Hadis Nabi…, 14.
Hal ini sebagaimana yang dipahami oleh Madzhab Salaf (mufawwidah), yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih, dan menyerahkan persoalan tersebut pada Allah sendiri. Kelompok ini cenderung mensucikan Allah dari pengertian lahir yang mustahil bagi Allah, dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Lihat Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), 211.
Kelompok tekstualis adalah kelompok yang lebih mengedepankan paradigma berfikir, baik cara, metode, maupun pemahaman yang lebih mengacu pada dimensi konteks, yakni kecenderungan pemaknaan yang tidak semata-mata bertumpu pada makna teks lahiriyah (literal), tetapi juga melibatkan dimensi sosio-historisnya. Contoh kelompok yang mengusung paham ini adalah madzhab khalaf, mereka menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil, kepada makna yang lain, yang sesuai dengan dzat Allah. Lihat Syafruddin, Paradigma Tafsir…, 48. Lihat pula Syadali dan Rafi’i, Ulumul…, 217.
Ismail, Pemahaman Hadis Nabi…, 14.
Lihat Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj (selanjutnya ditulis: Muslim), Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1922 M), juz IV, 2247 dan 2258. Lihat pula Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1998), juz IV, 116-118.
Muslim, Sahih…, juz I, 521-522.
Sayyid Salih Abu Bakr, Menyingkap Hadis-hadis Palsu, terj Muhammad Wakid, (Surakarta: Mutiara Solo, tt), jilid II, 161-165.
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 155-158.
Abu Isa Muhammad Bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, (tk: Matbaah Mustafa al-Babi al-Halabi, 1978 M/1488 H), Juz IV, 266.
Ismail, Pemahaman Hadis Nabi…, 21.
Ibid., 21-22.
Abu Abd al-Rahman Ahmad al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz VIII, 107.
Ismail, Pemahaman Hadis Nabi…, 23.
Abu Abdullah Ahmad Ibn Hambal, Musnad Ahmad Ibn Hambal, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978) juz II, 169.
Muslim, Sahih…, juz I, 88.
al-Bukhari, Sahih…, Juz I, 102.
Di samping Hadis-hadis yang telah dikutip di atas, masih cukup banyak Hadis-hadis lain yang menjelaskan amalan-amalan yang utama.
Ismail, Pemahaman Hadis Nabi…, 26.
al-Barry, Kamus…, 29.
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), juz I, 645-646.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer