BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang.
Masa peralihan kekuasaan pada dasarnya bukan hanya dilakukan pada masa sekarang atau zaman sekarang, tapi mulai masa nabi Musa as, dan nabi nabi Harun, hal ini dapat diketahui oleh ayat al-Qur’an surat al-A’raf ayat 142 dijalaskan mengenai perihal peralihan kekuasaan nabi Musa as yang diberikan kepada nabi Harun as, sebab pada saat itu nabi Musa diperintahkan oleh Allah swt untuk bermunajat selama tiga puluh hari, guna memperolah janji Allah swt dalam mendapatkan kitab suci yang menjadikan dasar hukum atau syari’at bagi kaumnya bani israel, dan mendapatkan gelar sebagai Kalamullah. Masa peralihan tersebut merupakan suatu bukti bahwa suatu kepemimpinan yang di emban oleh seorang pemimpin pada masa itu, bukan hanya tanggung jawab pemimpin saja, tapi pegawai atau umat yang ada dan mampu untuk melakukannya.
Nabi Musa as memberikan suatu contoh konkrit bagi kita sekalian, bahwa manajemen kepemimpinan buka hanya tanggung jawab seorang pemimpin saja, tapi para pegawainya juga mempunyai suatu tanggung jawab yang harus dipenuhi dan di emban untuk menjadikan pegawai lain, yakni manusia diciptakan menjadi khalifah atau pemimpin didunia, tidak terkecuali kita sebagai seorang muslim.
Dalam makalah ini menjelaskan prihal peralihan kekuasaan yang diberikan nabi Musa as kepada saudaranya nabi Harun as, sebab pada masa itu nabi Musa diberikan suatu perintah oleh Allah swt untuk bermunajat kepadanya guna mendapatkan sebuah kitab suci Taurat, dan dapat berbicara langsung kepada Allah swt, dan menjadikan kitab tersebut sebagai dasar hukum atau syari’at yang akan digunakan oleh umat nabi Musa as dan nabi Harun as, yaitu kepada bani israel. Sehingga nabi Musa sendiri pasti meninggalkan beberapa umatnya untuk melaksanakan perintah Allah swt nabi Musa as harus meninggalakan umatnya dan memilih seorang pengganti untuk menjaga umatnya dari bahaya fir’aun dan lainnya, sebab pada masa itu juga bani israel masih rentan dalam syri’ah, dan masih ganduh dalam menjalankan perintah Allah swt.
Maka dari itulah nabi Musa as melaksanakan perintah Allah swt untuk mendapatkan sebuah kitab yang menjadi landasan hukum Allah swt, dan terpaksa meninggalkan umatnya guna perintah hal tersebut, sehingga ia meminta saudaranya Harun as yang juga seorang nabi untuk menggantikannya menjaga bani israel.
B. Rumusan Masalah.
Setiap kepemimpinan dapat dialihkan pada pegawai lain, seperti halnya yang dilakukan oleh nabi Musa as kepada nabi Harun as. Namun untuk lebih spesifik dalam pembahasan ini, maka pemakalah akan menspesifikasikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa ayat mengenai peralihan kekuasaan ?
2. Bagaimana tafsir mufradhatnya ?
3. Bagaimana munasabah tafsir ayat al-A’raf ayat 142 ?
4. Jelaskan syarah ayat 142 dalam surat al-A’raf ?
BAB II
Pembahasan
A. Surat Al-A’raf (142)
وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لأخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan."
B. Tafsir Mufradhat
1. وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً: Allah swt menjanjikan nabi musa untuk menyelesaikan perintahnya, yaitu berpuasa selama tiga puluh hari dibulan Dzul Qo’dah, dan setelah nabi musa hampir selesai Allah swt memerintahkan untuk di mengakhiri dengan menambah sepuluh hari lagi.
2. وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ: Disempurnakan pada bulan Dzul Hijjah.
3. فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ : Maka nabi Musa as telah menyempurnakan sesuatu yang telah diperintahkan tuhan kepadanya, seperti halnya sholat, puasa, dan haji.
4. وَقَالَ مُوسَى لأخِيهِ هَارُونَ : nabi Musa memberikan kekuasaan untuk menjaga kaumnya kepada saudaranya nabi Harun, karena ketika itu nabi Musa pergi ke gunung untuk bermunajat kepada tuhannya.
5. اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي : Jadilah Khalifah dalam kaumku.
6. وَأَصْلِحْ : Perintahku.
7. وَلا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ : Menguji orang yang memberikan jalan untuk maksiat.
C. Munasabah ayat.
Setelah masa yang telah dijanjikan tiba dan musa bersiap-siap hendak berangkat menuju bukti tursina, seperti yang disebutkan oleh firmannya.
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ قَدْ أَنْجَيْنَاكُمْ مِنْ عَدُوِّكُمْ وَوَاعَدْنَاكُمْ جَانِبَ الطُّورِ الأيْمَنَ
Hai bani israil, sesungguhnya kami telah menyelamatkan kamu sekalian dari musuh kalian, dan kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian (untuk bermunajat) disebelah kanan gunung itu (Taha : 80)
Maka dari itulah musa mengangkat saudaranya, yaitu harun untuk menggantikan dirinya memimpin kaum bani israil. Nabi Musa mewasiatkan kapara saudaranya agar berbuat baik terhadap kaumnya dan tidak menimbulkan kerusakan. Hal ini semata hanyalah sebagai peringatan belaka, sebab sesungguhnya nabi Harun as adalah seorang nabi yang dimuliakan oleh Allah swt, sama dengan kedudukan para nabi lainnya.
Dapat diketahui bahwa kedua ayat munasabah ini menjelaskan perihal kaum nabi Musa yaitu bani israel yang masih menyembah berhala dan mendapatkan kekerasan fir’aun, dan dengan hal tersebut Allah swt memerintahkan nabi Musa untuk bermunajat meminta sebuah dasar hukum yang akan menjadi syari’at bagi kaum bani israel pada masa itu, yaitu sebuah kitab suci taurat sebagai dasar hukum kaum bani israel.
Kemudian sebelum nabi Musa as pergi meninggalkan kaumnya guna diperintahkan bermunajat selama tiga puluh hari, maka ia menunjuk saudaranya nabi Harun as untuk menggantikan dirinya dalam memimpin kaumnya selama ia bepergian, dan nabi Harun as menyanggupkan apa yang diminta oleh nabi Musa as, sehingga Allah swt menurunkan kitab taurat kepada Musa untuk menjadi sebuah dasar hukum bagi kaumnya.
D. Syarah tafsir
Dalam pembahasan ini Allah swt menceritakan perihal anugerah yang diberikan kepada kaum bani israel, yaitu hidayah yang diperolehnya. Pada saat itu nabi musa as berbicara langsung dengan Allah swt dan di anugrahkan kitab taurat yang terkandung beberapa hukum syari’at pada kaumnya. Untuk itulah Allah menjanjikan hal tersebut kepada nabi musa dalam masa tiga puluh hari.
Representatif para ulama tafsir perihal kegiatan yang dilakukan oleh nabi musa dalam tiga puluh hari yaitu berpuasa lengkap dalam tiga puluh hari, akan tetapi Allah swt memerintahkannya untuk menggenapkan puasa empat puluh hari.
Para ulama yaitu (Mujahid, Masruq, dan ibnu Juraij) berbeda pendapat perihal tambahan yang diberikan oleh Allah, bahwa tiga puluh hari awal ialah bulan dzul-Qho’dah, sedangkan sepuluh hari selanjutnya ialah bulan dzul hijjah.
Hal ini serupa dengan periwayatan Ibn Abbas, yaitu Miqat telah disempurnakan pada hari raya kurban, pada hari itu pula terjadilah pembicaraan Allah dengan Musa as secara langsung, dan pada hari itu pulalah Allah swt menyempurnakan agama islam bagi nabi Muhammad saw.
Hal ini telah diselesaikan oleh nabi Musa, yaitu pembebasan bani israel dari kehidupan yang rendah dan hina, sebuah penyiksaan yang dilakukan oleh fir’aun terhadap umatnya, dan setelah hal tersebut menyelematkan bani israel dari negeri yang penuh kehinaan dan tekanan, ke padang yang sangat luas, sebagai suatu jalan menuju ke tanah suci yaitu Baitul Maqdis, tapi setelah itulah bani israel belum siap juga untuk mengemban tugas yang sangat besar, yaitu sebagai tugas khalifah di muka bumi untuk mengemban agama Allah swt.
Dapat diketahui bagaimana jiwa bani israel yang masih lekat kepada keberhalaan dan kemusyrikan saat melihat suatu kaum yang sedang menyembah berhala, dan mengelupaslah akidah tauhid yang di bawa oleh Musa as kepada mereka yang tidak lama sebelumnya. Oleh sebab itulah diperlukan risalah yang detail untuk mendidik bani israel itu dan untuk mendidik bani israel itu dan untuk mempersiapkan mereka, untuk menghadapi suatu urusan yang benar. Sebab itulah Allah swt menjanjikan risalah yang detail ini kepada hambanya, agar dia menghadap kepadanya untuk menerima sebuah risalah tersebut.
Sehingga waktu yang dijanjikan selama tiga puluh malam, dan sepuluh hari, yang menjadi empat puluh hari. Pada saat itu nabi Musa memfokuskan dirinya untuk pretemuan tersebut, dan dilepaskan semua kesibukan duniawi agar dapat berkosentrasi dalam melakukan hubungan dengan bisikan langit. Dia putuskan suatu hubungan dari makhluk agar dapat memfokuskan perhatian tersebut dalam berhubungan dengan Tuhan, dan agar jiwanya jernih, sensitif, dan bercahaya. Juga agar keinginannya menjadi kuat untuk menghadapi berbagai keadalan dan mengemban risalah yang dijanjikan.
Kemudian nabi Musa meninggalkan kaumnya untuk melakukan kontemplasi, ia berpesan kepada saudaranya Harun.
Dan musa berkata kepada saudaranya harun, gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan jangan kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan (al-A’raf : 142)
Nabi Musa sudah mengetahui bahwa saudaranya nabi Harun adalah seorang nabi yang diutus Allah swt bersamanya, tapi pada dasarnya seorang muslim ialah saling memberikan nasehat dan saling menjaga sesama muslim, dan hal tersebut menjadi sebuah kewajiban bagi seorang muslim sejati.
Nabi Musa as dapat memperkirakan beratnya suatu tugas tersebut, sebab itulah ia mengetahui bagaimana karakter para kaumnya, yaitu bani israel dan nabi Harun as. Tapi nasehat tersebut hanyalah terasa berat bagi orang-orang musyrik, sebab hal tersebut hanya dapat mengikat kebebasan mereka.
Adapun mengenai kisah tiga puluh malam yang disempurnakan dengan disempurnakan oleh sepuluh hari kemudian, oleh sebab itulah Allah swt menjanjikan kepada nabii Musa as guna memberikan kitab taurat setelah satu bulan sepuluh hari. Perspektif para mufassir bahwa selama nabi Musa as bepergian selama tiga puluh hari sembari berpuasa, dan setelah melanjutkannya, ia bersiwak dengan kulit pohon. Setalah itu Allah swt memerintahkannya untuk menyempurnakannya menjadi empat puluh hari.
Pada dasarnya ayat tersebut menjelaskan suatu peristiwa turunnya kitab taurat kepada nabi Musa as. Allah swt menepati janjinya kepada nabi Musa, bahwa ia akan menurunkan wahyu kepada nabi Musa as yang berisi suatu pokok-pokok agama dan hukum yang akan menjadi sebuah pedoman bagi bani israel dalam usaha mereka mencari suatu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Saat waktu penurunan wahyu yang dijanjikan tersebut selama tiga puluh malam digunung sunai, kemudian ditambahnya sepuluh malam lagi, sehingga semuanya menjadi empat puluh hari empat puluh malam.
Perihal turunnya kitab taurat kepada nabi Musa diriwayatkan oleh ibn Munzir dan Ibn Abu Hatim dari Ibn Abbas waktu menafsirkan ayat ini, bahwa nabi Musa berkata kepada kaumnya:
Sesungguhnya tuhanku (Allah) menjanjikan kepadaku tiga puluh hari malam, aku akan menemuinya dan aku akan jadikan Harun untuk mengurusimu. Maka setelah nabi Musa as, sehingga ke tempat yang dijanjikan, yaitu pada bulan Dzul Qo’dah dan sepuluh hari bulan Dzul Hijjah. Kemudian nabi Musa as menetapkan dan menunggu di atas bukit sunar.
Selama empat puluh malam Allah swt menurunkan kepadanya taurat dalam bentuk kepingan-kepingan bertulis, maka Allah mendekatkan Musa kepadanya untuk diajak bicara, maka sesudah itu berbicaralah Allah dan musapun mendengarkannya secara langsung.
BAB III
Kesimpulan
Representatif para ulama dalam penafsiran yang dilakukan oleh nabi Musa dalam tiga puluh hari yaitu berpuasa, kemudian Allah swt memerintahkannya untuk menyempurnakan puasanya selama empat puluh hari. Para ulama seperti Mujahid, Masruq, dan Ibn Juraij berbeda pendapat perihal tambahan yang diberikan oleh Allah swt, bahwa tiga puluh hari yaitu pada bulan Dzul Qo’rah, dan selanjutnya bulan Dzul Hijjah. Pendapat mereka di kuatkan oleh riwayat Ibn Abbas yaitu Miqat telah disempurnakan pada hari raya kurban, dan pada hari itu pula menjadi peristiwa pembicaraan langsung Allah swt terhadap nabi Musa as.
Daftar Pustaka
Zuhaili. Wahab, Tt, Tafsir al-Munir. Juz 9 (Libanon, Bairut)
Abdurrahman. Jalaludin ibn Abi Bakr al-Suyuti, Tt, al-Darul al-Manstur fi al-Tafsir al-Ma’stur, Juz III (Libanon, Darul Kitab)
Hayyan. Abi al-Andalusi, 754 H, Tafsir Nahrul Madi, Juz I (Tk, al-Staqiyah)
Abdullah. Imam Ibn Ahmad Ibn Muahmud al-Nasafi, Tt, Tafsir al-Nasafi, Juz I (Libanon, Darul Kitab)
Muhammad ibn Abi Bakar al-Razy, 1990, Tafsir al-Razy (Tk, Bairut Dar al-Fikr al-Mashar)
Ali. Alauddin ibn Muhammad ibn Ibrahim, 1995, Tafsir al-Khazin, Juz II (Libanon, Bairut Dar al-Kutub al-Ilmiah)
Abi Ja’far Muhamad ibn Jarir al-Thabari, Tt, Tafsir Thabari (Tk, Bairut Dar al-Kutub al-Alamiyah)
Jamaluddin Abdul al-Rahman ibn Ali ibn Muhammad al-Jauzi, 1987, Zad al-Masir fi Ulum al-Tafsir, Juz III (Tk, Bairut Dar al-Fikr)
Muhammad al-Amin ibn Abdillah al-Arumi al-Alawi al-Harari al-Syafi’i, Tt, Hadaiq al-Raihi wa al-Raihan, Juz 10 (Libanon, Bairut Dar al-Tsauq al-Najat)
Al-Qur’an, 7 : 142
Wahab Zuhaili, Tafsir al-Munir. Juz 9 (Tt, Libanon, Bairut), Hal 82
Al-Qur’an, 20 : 80
Ibid, 83
Jalaludin abdurrahman ibn abi bakr al-suyuti, al-Durul al-Manstur fi al-Tafsir al-Ma’stur. Juz III (Tt, Libanon, Darul kitab), Hal 214
Abi hayyan al-Andalusi, Tafsir Nahrul Madi, Juz I (754 H, Tk, al-Staqiyah), Hal 863
Imam Abdullah bin Ahmad ibn Mahmud al-Nasafi, Tafsir al-Nasafi, Juz I (Tt, Libanon, Darul al-Kitab), Hal 436
Muhammad bin Abi Bakar al-Razy, Tafsir al-Razy, (Tk, Bairut Dar al-Fikr al- Mashar,1990), Hal 64
Alauddin Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim, Tafsir al-Khazin, Juz II, (Lebanon, Bairut Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995) 588
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Tafsir Thabari (Bairut Daru al-Kutub al-Alamiah, Tt), 107
Jamaluddin, Abdul al-Rahman ibn Ali ibn Muhammad al-Jauzi, Zad al-Masir fi Ulum al-Tafsir Juz III, (Bairut Daral-Fikr, 1987) 214
Muhammad al-Amin ibn Abdillah al-Arumi al-Alawi al-harari al-Syafi’I, Hadaiq al-Raihi wa al-Raihan Juz 10 (Lebanon, Bairut Dar al-Tsauq al-Najat, Tt) 187
Home
»
»Unlabelled
» Tafsir Peralihan Kekuasaan
Tafsir Peralihan Kekuasaan
Jumat, Juni 24, 2011
0 komentar:
Posting Komentar