BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang.
Manusia dalam perjalanan hidup akan
mengalami tiga dekade atau peristiwa yang paling penting, yaitu waktu
dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat seorang manusia
dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya terdapat sebuah keluarga.
Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan pengemban dari hak dan
kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan perkawinan yaitu ketika ia
telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi kawan hidupnya untuk
membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya sebuah
keturunannya.
Kemudian manusia pada suatu saat akan
meninggal dunia. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting,
sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang sangat penuh dengan kerahasiaan
dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang meliputi seluruh keluarga yang
ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak masa hidupnya. Dimasa yang
seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah seorang meninggal dunia
yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan bagaimana hukumnya dan
apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hukum)
wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya.
B.
Rumusan
Masalah
Untuk lebih mendukungnya penjelasan
dalam makalah ini maka pemakalah akan menrumuskan beberapa permasalah yang akan
dibahas sebagai berikut :
1.
Bagaimana tafsir
ayat yang menerangkan tentang wasiat?
2.
Bagaimana
tafssir ayat yang menerangkan tentang saksi dalam wasiat?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Wasiat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَأَحَدَكُمُ المَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الوَصِيَّةُ لِوَالِدَيْنِ
وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوفِ, حَقًّا عَلَى المُتَّقِيْنَ
Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas
orang-orang yang bertakwa. (al-baqarah : 180)[1]
Disini
dijelaskan bahwa sebelum meninggal dunia sebisa mungkin berwasiat untuk perselewengan yang
dialami ahli waris, yaitu ketidak adilan dalam pembagian waris yang ditetapkan
oleh orang yang mewariskannya, sebab terdapat wasiat yang diperuntungkan oleh sederatan
orang saja, seperti peristiwa yang terjadi pada sahabat nabi yang diriwayatkan
oleh umar bin kharijah dan anas bin malik, bahwasanya ada seorang ahli waris
perempuan yang mendapatkan seluruh harta warisannya sehingga ia tidak
mengeluarkan hartanya tanpa seizin suaminya.
Mengenai
ayat ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Setengah ulama berpendapat
bahwasanya ayat wasiat di atas tidak berlaku lagi setelah turun ayat an-Nisa
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِىْ
اَوْلَادُكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظٍّ الُاْنَثَيين فَاِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثًا مَا تَرَكَ, وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلَا بَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ
كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَرِثُهَا بَوَهُ فَلِاُمِّهِ
الثُّلُثُ فَاِنْ كَانَ لَهُ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ يُّوْصِى بِهَا اَوْدَيْنٍ اَبَا ؤُكُمْ وَاَبْنَاؤُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ
اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ اِنَّ اللهَ كَانَ
عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dalam
ayat di atas telah terang menyatakan pembagian waris
. selain itu juga terdapat hadits shahih yakni
إِنَّ الله
قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقَّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
“sesungguhnya Allah telah memberikan hak
kepada yang punya hak, dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”
Maka
dengan ini dinasakhnya hukum wasiat bagi
ahli waris, akan tetapi dalam penjelasan lain
yang temukan dalam keterangan hadis hukum seperti dalam fathul mu’in
bahwa imam nawawi berpendapat wasiat dapat dilakukan dengan syarat tidak lebih
dari 1/3 sepertiga dari harta waris, dan itupun harus mendapat persetujuan dari
ahli waris yang lain, contonya seorang mayit meninggalkan satu orang istri dan
dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, dan ayah yang meninggal tadi
memberikan wasiat untuk diberikannya anak perempuannya yang keadaanya kurang
mampu dengan 1/3 dari hartanya tersebut, maka dengan persetujuan saudara dan
ibunya anak perempuan tersebut bisa mendapatkan harta tersebut. Akan tetapi
apabila salah satu dari ahli warisnya tidak menyetujui wasiat tersebut maka
wasiat gugur oleh tidak adanya persetujuan dari ahli waris yang lain.[2]
Adapun
hikmah berwasiat kepada bukan ahli waris tampak jelas dalam kondisi-kondisi
yang mana shilatul-qarabah (hubungan kekerabatan) mengharuskannya
berbuat kebajikan kepada sebagian kerabat yang lain. Yaitu, ketika ayat-ayat
kewarisan tidak memberikan hak waris bagi mereka karena mahjub oleh orang lain.
Ini merupakan di luar batas-batas kewarisan. Oleh karena itu, disebutkanlah
kata “ma’ruf” dan “taqwa” di akhir ayat.[3]
Bagi
sebagian ulama mengatakan bahwa al-Baqarah : 180 tetap berlaku, yakni bagi
orang yang mampu (orang yang harta bendanya banyak). Karena dalam ayat itu
harta benda itu tidak disebut mal tapi khairan yang artinya baik.
Maka jika si fulan meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang
banyak.[4]
Dalam Tafsir Fi Zilalail Quran dijelaskan bahwa khairan adalah
harta yang kurang dari “enam puluh dinar”, ada yang mengatakan “delapan puluh
dinar”, ada yang mengatakan “empat ratus dinar”, bahkan ada yang mengatakan
“seribu dinar”. Dan ukuran harta yang bisa di wasiatkan senantiasa
diperselisihkan dari masa ke masa dan dari satu lingkungan ke lingkungan yang
lain.[5]
Pendapat
di atas dikuatkan dengan sebuah riwayat dari Ibnu Abi Syaibah bahwa ada
seseorang yang bermaksud hendak berwasiat, lalu dia minta nasehat kepada Ummul
Mu’minin Aisyah r.a, maka bertanyalah beliau “ berapa banyaknya harta engkau?”
Dia menjawab: “Ada tiga ribu”. Lalu beliau tanyakan pula: “Berapa anak-anakmu?”
orang itu menjawab: “ada empat”. Lalu ibu yang beriman itu berkata “Memang
Allah menyatakan jika engkau meninggalkan khairan hendaklah berwasiat. Tetapi
harta engkau sedikit, sebab itu tinggalkan harta itu bagi anak-anakmu, itulah
yang lebih baik”.[6]
Dan
menurut riwayat al-Baihaqi, Ali bin Abu Thalib r.a datang maulanya dalam maula[7]
itu sakit keras. Lalu maula itu bertanya “Apakah tidak patut kalau hamba
berwasiat?” Ali bertanya “Berapa harta yang akan engkau tinggalkan?” Maula itu
menjawab “Ada tujuh ratus dirham atau enamratus dirham”. Mendengar itu Ali
berkata: “Ini adalah harta yang sedikit, tidak usah berwasiat, berikan saja
untuk ahli waris engkau”.
Dengan
demikian, maka golongan ini berpendapat bahwa ayat wasiat tidaklah mansukh.
Apalagi ayat yang demikian terang tidaklah dapat dinasikhkan oleh hadits Ahad.
Ayat ini berlaku untuk orang kaya yang yang banyak harta peninggalannya.[8]
2. Saksi
Dalam
wasiat agama menganjurkan agar wasiat itu dituliskan atau akan lebih baik
dibawa ke notaries. Dan hal ini agar tidak adanya kecurangan sebagaimana
dijelaskan pada ayat
فَمَنْ بَدَّ لَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ
فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلْيٌم. فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا
فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“maka
barang siapa yang mengubahnya setelah dia mendengarnya, tidaklah ada dosa
melainkan atas orang yang mengubah-ubahnya itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar, lagi Maha Mengetahui. Dan barangsiapa yang takut, bahwa dari yang
berwasiat itu ada kekeliruan atau dosa, lalu diperdamaikannya diantara mereka,
maka tidaklah dia berdosa. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Pada
ayat di atas menjelaskan bahwa jika terjadi kecurangan dari si pendengar
wasiat, biasanya pada wasiat yang tidak tertulis dan tidak adanya saksi lain,
maka yang berwasiat tidak berdosa. Orang yang berdosa dalam hal ini adalah yang
curang baik yang mendengar atau waris lain yang tidak suka setia memegang
wasiat karena tamak. Maka Janganlah
sampai harta benda orang yang mati itu telah didapat oleh si waris sebagai
kekayaan yang tiba-tiba, menjadi fitnah. Sebab segala bunyi wasiat si mayit,
pertanggung jawaban yang mendengar wasiat, dan waris yang menjalankan wasiat,
semuanya didengar dan disaksikan oleh Tuhan.[9]
Namun
wasiat itu boleh saja diubah oleh sipenerima wasiat dalam suatu keadaan.
Misalnya dia mengetahui bahwa maksud si pewasiat melakukan wasiat itu karena
pilih kasih kepada seseorang, atau hendak menghukum ahli waris.[10] Seperti
contoh seorang yang meninggalkan wasiat yang mengandung dosa, seumpama
memungkiri pewarisan kepada setengah anak karena pengaruh beristri banyak, atau
banyak dia memberikan wasiat kepada keluarga lain yang bukan waris, padahal
harta yang ada hanya sedikit, sehingga timbul sengketa antara pewaris dan
penerima wasiat.[11]
Dalam kondisi seperti ini tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk
menyimpang dari tindakan berat sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan
urusannya kepada keadilan dan kesadaran.[12]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Pada awalnya sebelum seseorang
meninggal hendaknya berwasiat untuk pembagian harta waris. Namun mengenai hal
ini ada perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini
tidak berlaku lagi karena Wasiat dalam surat
al-baqarah ayat 180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’ ayat 11-12. namun
sebagian ulama mengatakan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah 180 tetap
berlaku, yakni bagi orang yang mampu (orang yang harta bendanya banyak). Karena
dalam ayat itu harta benda itu tidak disebut mal tapi khairan
yang artinya baik. Maka jika si fulan meninggalkan khairan, yang
dimaksud adalah kekayaan yang banyak.
2.
jika seseorang
berwasiat agama menganjurkan adanya saksi atau pada zaman sekarang yaitu ke
notaries. Hal ini karena dikhawatirkan adanya kecurangan atau kekeliruan dalam
wasiat. Wasiat tidaklah bisa diubah kecuali dalam keadaan tertentu, misalnya
adanya maksud pilih kasih oleh si pembuat wasiat. Dalam kondisi seperti ini
tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk menyimpang dari tindakan berat
sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan urusannya kepada keadilan dan
kesadaran
DAFTAR
PUSTAKA
Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar, Jakarta : PT Pustaka
Panji Mas.
Syahin, Musa. Tt. Fathul Muin Fi syarah Shoheh muslim, Tt: Tp.
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir
Al-Misbah, juz 1. Tk, Lentera Hati.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir
Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani
[7]
Maula, bekas tawanan perang
atau turunannya, lalu dipelihara oleh yang menawan, dianggap sebagai keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar