Breaking News
Loading...
Kamis, 20 Oktober 2011

Tafsir Wasiat Dan Saksi Bagi Ahli Waris

Kamis, Oktober 20, 2011

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.
Manusia dalam perjalanan hidup akan mengalami tiga dekade atau peristiwa yang paling penting, yaitu waktu dilahirkan, waktu menikah, dan waktu meningga. Pada saat seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya terdapat sebuah keluarga. Demikian dalam pengertian sosiologis akan menjadikan pengemban dari hak dan kewajiban. Kemudian setelah ia dewasa akan melakukan perkawinan yaitu ketika ia telah bertemu dengan dambaan hati yang akan menjadi kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan darma baktinya yaitu berlangsungnya sebuah keturunannya.
Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggal dunia. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang sangat penting, sebab hal tersebut diliputi dengan suasana yang sangat penuh dengan kerahasiaan dan menimbulkan rasa sedih. Kesedihan yang meliputi seluruh keluarga yang ditinggalkannya dan duka teman-teman semenjak masa hidupnya. Dimasa yang seperti itulah maka timbul sebuah permasalah setelah seorang meninggal dunia yang didalamnya terdapat harta yang telah ditinggalkan bagaimana hukumnya dan apakan orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hukum) wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya.
B.     Rumusan Masalah
Untuk lebih mendukungnya penjelasan dalam makalah ini maka pemakalah akan menrumuskan beberapa permasalah yang akan dibahas sebagai berikut :
1.      Bagaimana tafsir ayat yang menerangkan tentang wasiat?
2.      Bagaimana tafssir ayat yang menerangkan tentang saksi dalam wasiat?


BAB II
PEMBAHASAN

1.   Wasiat
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَأَحَدَكُمُ المَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الوَصِيَّةُ لِوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوفِ, حَقًّا عَلَى المُتَّقِيْنَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (al-baqarah : 180)[1]
Disini dijelaskan bahwa sebelum meninggal dunia sebisa mungkin berwasiat untuk  perselewengan yang dialami ahli waris, yaitu ketidak adilan dalam pembagian waris yang ditetapkan oleh orang yang mewariskannya, sebab terdapat wasiat yang diperuntungkan oleh sederatan orang saja, seperti peristiwa yang terjadi pada sahabat nabi yang diriwayatkan oleh umar bin kharijah dan anas bin malik, bahwasanya ada seorang ahli waris perempuan yang mendapatkan seluruh harta warisannya sehingga ia tidak mengeluarkan hartanya tanpa seizin suaminya.
Mengenai ayat ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Setengah ulama berpendapat bahwasanya ayat wasiat di atas tidak berlaku lagi setelah turun ayat an-Nisa
يُوْصِيْكُمُ اللهُ فِىْ اَوْلَادُكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظٍّ الُاْنَثَيين فَاِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثًا مَا تَرَكَ, وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلَا بَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ اِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَرِثُهَا بَوَهُ فَلِاُمِّهِ الثُّلُثُ فَاِنْ كَانَ لَهُ اِخْوَةٌ فَلِاُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِى بِهَا اَوْدَيْنٍ اَبَا ؤُكُمْ وَاَبْنَاؤُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ اِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat di atas telah terang menyatakan pembagian waris . selain itu juga terdapat hadits shahih yakni
إِنَّ الله قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقَّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثِ
sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada yang punya hak, dan tidak ada wasiat untuk ahli waris.”
Maka dengan  ini dinasakhnya hukum wasiat bagi ahli waris, akan tetapi dalam penjelasan lain  yang temukan dalam keterangan hadis hukum seperti dalam fathul mu’in bahwa imam nawawi berpendapat wasiat dapat dilakukan dengan syarat tidak lebih dari 1/3 sepertiga dari harta waris, dan itupun harus mendapat persetujuan dari ahli waris yang lain, contonya seorang mayit meninggalkan satu orang istri dan dua anak laki-laki dan satu anak perempuan, dan ayah yang meninggal tadi memberikan wasiat untuk diberikannya anak perempuannya yang keadaanya kurang mampu dengan 1/3 dari hartanya tersebut, maka dengan persetujuan saudara dan ibunya anak perempuan tersebut bisa mendapatkan harta tersebut. Akan tetapi apabila salah satu dari ahli warisnya tidak menyetujui wasiat tersebut maka wasiat gugur oleh tidak adanya persetujuan dari ahli waris yang lain.[2]
Adapun hikmah berwasiat kepada bukan ahli waris tampak jelas dalam kondisi-kondisi yang mana shilatul-qarabah (hubungan kekerabatan) mengharuskannya berbuat kebajikan kepada sebagian kerabat yang lain. Yaitu, ketika ayat-ayat kewarisan tidak memberikan hak waris bagi mereka karena mahjub oleh orang lain. Ini merupakan di luar batas-batas kewarisan. Oleh karena itu, disebutkanlah kata “ma’ruf” dan “taqwa” di akhir ayat.[3]
Bagi sebagian ulama mengatakan bahwa al-Baqarah : 180 tetap berlaku, yakni bagi orang yang mampu (orang yang harta bendanya banyak). Karena dalam ayat itu harta benda itu tidak disebut mal tapi khairan yang artinya baik. Maka jika si fulan meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang banyak.[4] Dalam Tafsir Fi Zilalail Quran dijelaskan bahwa khairan adalah harta yang kurang dari “enam puluh dinar”, ada yang mengatakan “delapan puluh dinar”, ada yang mengatakan “empat ratus dinar”, bahkan ada yang mengatakan “seribu dinar”. Dan ukuran harta yang bisa di wasiatkan senantiasa diperselisihkan dari masa ke masa dan dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain.[5]
Pendapat di atas dikuatkan dengan sebuah riwayat dari Ibnu Abi Syaibah bahwa ada seseorang yang bermaksud hendak berwasiat, lalu dia minta nasehat kepada Ummul Mu’minin Aisyah r.a, maka bertanyalah beliau “ berapa banyaknya harta engkau?” Dia menjawab: “Ada tiga ribu”. Lalu beliau tanyakan pula: “Berapa anak-anakmu?” orang itu menjawab: “ada empat”. Lalu ibu yang beriman itu berkata “Memang Allah menyatakan jika engkau meninggalkan khairan hendaklah berwasiat. Tetapi harta engkau sedikit, sebab itu tinggalkan harta itu bagi anak-anakmu, itulah yang lebih baik”.[6]
Dan menurut riwayat al-Baihaqi, Ali bin Abu Thalib r.a datang maulanya dalam maula[7] itu sakit keras. Lalu maula itu bertanya “Apakah tidak patut kalau hamba berwasiat?” Ali bertanya “Berapa harta yang akan engkau tinggalkan?” Maula itu menjawab “Ada tujuh ratus dirham atau enamratus dirham”. Mendengar itu Ali berkata: “Ini adalah harta yang sedikit, tidak usah berwasiat, berikan saja untuk ahli waris engkau”.
Dengan demikian, maka golongan ini berpendapat bahwa ayat wasiat tidaklah mansukh. Apalagi ayat yang demikian terang tidaklah dapat dinasikhkan oleh hadits Ahad. Ayat ini berlaku untuk orang kaya yang yang banyak harta peninggalannya.[8]
2.  Saksi
Dalam wasiat agama menganjurkan agar wasiat itu dituliskan atau akan lebih baik dibawa ke notaries. Dan hal ini agar tidak adanya kecurangan sebagaimana dijelaskan pada ayat
فَمَنْ بَدَّ لَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِيْنَ يُبَدِّلُوْنَ إِنَّ اللهَ سَمِيْعٌ عَلْيٌم.  فَمَنْ خَافَ مِنْ مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“maka barang siapa yang mengubahnya setelah dia mendengarnya, tidaklah ada dosa melainkan atas orang yang mengubah-ubahnya itu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. Dan barangsiapa yang takut, bahwa dari yang berwasiat itu ada kekeliruan atau dosa, lalu diperdamaikannya diantara mereka, maka tidaklah dia berdosa. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Pada ayat di atas menjelaskan bahwa jika terjadi kecurangan dari si pendengar wasiat, biasanya pada wasiat yang tidak tertulis dan tidak adanya saksi lain, maka yang berwasiat tidak berdosa. Orang yang berdosa dalam hal ini adalah yang curang baik yang mendengar atau waris lain yang tidak suka setia memegang wasiat karena tamak.  Maka Janganlah sampai harta benda orang yang mati itu telah didapat oleh si waris sebagai kekayaan yang tiba-tiba, menjadi fitnah. Sebab segala bunyi wasiat si mayit, pertanggung jawaban yang mendengar wasiat, dan waris yang menjalankan wasiat, semuanya didengar dan disaksikan oleh Tuhan.[9]
Namun wasiat itu boleh saja diubah oleh sipenerima wasiat dalam suatu keadaan. Misalnya dia mengetahui bahwa maksud si pewasiat melakukan wasiat itu karena pilih kasih kepada seseorang, atau hendak menghukum ahli waris.[10] Seperti contoh seorang yang meninggalkan wasiat yang mengandung dosa, seumpama memungkiri pewarisan kepada setengah anak karena pengaruh beristri banyak, atau banyak dia memberikan wasiat kepada keluarga lain yang bukan waris, padahal harta yang ada hanya sedikit, sehingga timbul sengketa antara pewaris dan penerima wasiat.[11] Dalam kondisi seperti ini tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk menyimpang dari tindakan berat sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan urusannya kepada keadilan dan kesadaran.[12]















BAB III
KESIMPULAN

1.    Pada awalnya sebelum seseorang meninggal hendaknya berwasiat untuk pembagian harta waris. Namun mengenai hal ini ada perbedaan pendapat para ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini tidak berlaku lagi karena Wasiat dalam surat al-baqarah ayat 180 telah dinasakh oleh surat an-nisa’ ayat 11-12. namun sebagian ulama mengatakan bahwa wasiat dalam surat al-Baqarah 180 tetap berlaku, yakni bagi orang yang mampu (orang yang harta bendanya banyak). Karena dalam ayat itu harta benda itu tidak disebut mal tapi khairan yang artinya baik. Maka jika si fulan meninggalkan khairan, yang dimaksud adalah kekayaan yang banyak.
2.    jika seseorang berwasiat agama menganjurkan adanya saksi atau pada zaman sekarang yaitu ke notaries. Hal ini karena dikhawatirkan adanya kecurangan atau kekeliruan dalam wasiat. Wasiat tidaklah bisa diubah kecuali dalam keadaan tertentu, misalnya adanya maksud pilih kasih oleh si pembuat wasiat. Dalam kondisi seperti ini tidaklah berdosa bagi pelaksana wasiat untuk menyimpang dari tindakan berat sebelah atau aniaya itu, dan mengembalikan urusannya kepada keadilan dan kesadaran







DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1983.  Tafsir Al Azhar, Jakarta : PT Pustaka Panji Mas.
Syahin, Musa. Tt.  Fathul Muin Fi syarah Shoheh muslim, Tt: Tp.
Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah, juz 1. Tk, Lentera Hati.
Quthb, Sayyid. 2000. Tafsir Fi Zhilalil Quran, Jakarta : Gema Insani



[1] Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, juz 1. 2000, Tk, Lentera Hati. 372
[2] Musa syahin, Fathul Muin Fi syarah Shoheh muslim, Tt, Tk, Tp. 427
[3] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Quran, (Jakarta : Gema Insani, 2000), 197-198.
[4] Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta : PT Pustaka Panji Mas, ), 111.
[5] Quthb, Tafsir Fi,,, (Jakarta : Gema Insani, 2000), 197.
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar, 111-112
[7] Maula, bekas tawanan perang atau turunannya, lalu dipelihara oleh yang menawan, dianggap sebagai keluarga.
[8] Ibid.
[9] Ibid, 115.
[10] Quthb, Tafsir Fi Zhilalil,,, 198.
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar,,, 114.
[12] Quthb, Tafsir Fi Zhilalil,,, 198.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer