BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Wanita dalam
kehidupan berumah tangga mempunyai peranan yang cukup signifikan. Baik dalam hal
mengurus segala kebutuhan suami, anak, dan seluruh keluarga besarnya. Dengan
demikian seorang istri wajib patuh terhadap suami dan melayani dengan sepenuh
hati tanpa melanggar aturan yang telah
disyariatkan oleh agama. Namun dalam kenyataannya seorang wanita tidak
dapat menghindar dari siklus bulanan (haid) yang bisa menjadikan kendala dalam
melayani suami.
Seorang
istri yang sedang haid tidak
diperkenankan melakukan hubungan badan dengan suaminya. Karena yang demikian
dapat menimbulkan gangguan ataupun penyakit dari sudut pandang kesehatan maupun
agama secara umum. Dalam hal ini seorang suami terkadang merasa terganggu
dengan kondisi istrinya yang sedang haid, karena sebagian suami yang berada di
posisi tersebut hasratnya tidak dapat tersalurkan secara utuh.
Agama islam
sebagai agama yang rahmatan lil’alamin tidak pernah memberatkan umatnya.
Islam selalu memberikan kemudahan-kemudahan dan opsi-opsi dengan
pertimbangan-pertimbangan yang mendatangkan kemaslahatan. Dan islam menyikapi
masalah yang demikian dengan memberikan kewenangan kepada seorang istri untuk
memperpanjang masa sucinya sesuai prosedur dengan mendapatkan izin dari
suaminya. Baik dalam urusan beribadah
maupun melayani suami. Selanjutnya dalam makalah sederhana ini akan diuraikan
lebih mendetail.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian haid?
2.
Bagaimana hukum memperlambat haid bagi seorang istri?
3.
Kapan seorang istri diperkenankan memperpanjang masa sucinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Haid
Haid
menurut bahasa berarti mengalir sedangkan menurut istilah para ulama’ fiqh
adalah sebagai berikut:[1]
- Malikiah : Haid
adalah darah yang keluar dengan sendirinya (bukan dikarenakan melahirkan) dari kubul seorang wanita dalam usia tertentu.
-
Hanafiyah : Haid merupakan
sifat syar’i yang menyifati seorang wanita disebabkan karena keluarnya darah
(dari kubulnya) yang menjadikannya haram dijamak dan dilarang shalat, puasa dan
sebagainya.
-
Syafi’iyah : Haid adalah darah yang keluar dari kubul
seorang wanita yang sehat dari penyakit yang dapat menyebabkan keluarnya darah,
dan usianya telah mencapai 9 tahun atau lebih, serta tidak disebabkan karena
melahirkan.
B.
Masa Haid
Haid mempunyai
batas awal dan batas akhir, masa haid adalah ukuran masa dimana seorang wanita
dianggap sebagai seorang yang haid. Adapun batas minimal masa haid adalah satu
hari satu malam, dengan syarat darahnya keluar sebagaimana biasanya ketika
sedang haid. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Syafi’i, Hanbali, Atha’,
Abu Tsaur, Auza’i dan Ishaq.[2]
Mereka menegaskan bahwa apabila seorang perempuan melihat darah keluar dan
lebih dari sehari semalam, maka itu merupakan darah haid.
Madzhab Maliki
berpendapat bahwa tidak ada batas minimal haid, bahkan cukup disebut haid
dengan sekali keluar. Sedang menurut Hanafi batas minimal haid minimal tiga
hari tiga malam, demikian halnya dengan pendapat Sufyan al-Tsauri dan penduduk
Kufah. Sedangkan pada umumnya, masa haid seorang wanita adalah 6-7 hari.
Adapun batas
maksimal masa haid menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali adalah 15 hari 15 malam[3], meskipun darah tersebut tidak mengalir secara berkesinambungan.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ali ra.
ما زاد على خمسة
عشر إستحاضة
“Selebihnya dari 15 hari, maka darah itu disebut dengan darah istihadlah
(darah penyakit).”
Sementara menurut madzhab Hanafi dan syi’ah zaidiyah,
masa haid paling lama adalah 10 hari, berdasarkan hadis Watsilah bin al-asqa’
ra: dari Nabi saw.
أقل الحيض ثلاثة
أيام وأكثره عشرة أيام
“ Minimal haid adalah 3 hari dan maksimalnya 10 hari”
C.
Larangan bagi Wanita Haid
Haid
adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, yangmana
terlarang baginya untuk mengerjakan ibadah puasa, salat, tawaf, dan ibadah
lainnya yang menjadi kewajibannya ketika bersuci. Sehingga apabila seorang
wanita yang tengah haid melanggar ketentuan tersebut maka ibadahnya tidak sah.
Karena larangan mengenai hal ini telah ditentukan oleh syariat agama.
Sebagaimana sabda Rasulullah:
*إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة. (Bila
engkau haid maka tinggalkanlah salat)
*أليس
إذا حاضت لم تصل ولم تصم؟
(Bukankah
bila perempuan haid maka ia tidak salat dan tidak puasa).
*إفعلي
ما يفعل الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري.
(Kerjakan apa yang
dikerjakan orang-orang yang berhaji selain tawaf).
Adapun
seorang istri yang haid juga terlarang beginya untuk melakukan hubungan intim
dengan suaminya[4] dengan
alasan apapun sampai ia bersuci. Sebagaimana firman Allah:
...لا تقربوهن حتى يطهرن (البقرة:222)
Artinya,”
…Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci”.
D.
Regulasi Haid; Upaya beribadah dan melayani suami
Wanita
tidak terlepas dari haid yang telah menjadi siklus bulanan. Hal ini menjadi
toleransi tersendiri bagi kaum hawa untuk meninggalkan ibadah yang
dijalankannya di saat ia suci. Namun tidak sedikit di antara mereka yang
dilanda kegelisahan saat menjalani masa-masa haid, yang diindikasi sebab
berkurangnya intensitas ibadah kepada Allah SWT. Sehingga tidak jarang dari
mereka yang memiliki tingkat emosi yang memuncak saat haid tiba.
Selain
itu, pada saat seorang istri sedang mengalami masa haid kadangkala bisa
menyebabkan timbulnya keresahan bagi seorang suami disebabkan karena hasratnya
tidak dapat tersalurkan secara penuh, sehingga ada upaya untuk memperpanjang
masa suci seorang wanita dengan beberapa cara yang di pandang mendatangkan
kemaslahatan dalam perspektif agama dan kesehatan khususnya.
Adapun
Islam adalah agama yang fleksibel dan selalu memperhitungkan hal-hal baru yang
bisa mendatangkan kemaslahatan bagi umatnya. Sebagaimana yang telah
dipraktekkan di Indonesia, ketika seorang wanita akan melaksanakan ibadah haji
yang telah ditentukan tanggal keberangkatannya tidak akan dapat ditunda semaunya
hanya karena alasan datang bulan. Dengan demikian sesaat sebelum keberangkatan
ke Tanah suci, seorang wanita diberikan suntikan atau semacamnya untuk mencegah
datangnya haid.
Sementara
bagi seorang wanita yang menunda haid dengan cara meminum obat dengan harapan
dapat menyempurnakan bilangan puasa di bulan Ramadlan, sebaiknya tidak
melakukan hal yang demikian. Karena Allah memberikan kemurahan atas gugurnya
kewajiban puasa bagi wanita yang haid. Di samping itu kondisi badan wanita yang
sedang haid mengalami kelemahan pada setiap urat-uratnya, lemah, labil dan
sebagainya. Dengan catatan adanya kewajiban menqadla’ pada hari-hari yang lain.
Menurut
Dr. Setiawan Budi Utomo[5], segala sesuatau itu akan lebih afdlol apabila berjalan
sebagaimana mestinya, alamiah, serta sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. Sedangkan
menurut As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin[6]
dalam kitabnya Risalah fid Dima’ith Thabi‘iyyah lin Nisa’ dijelaskan bahwa penggunaan obat/jamu
yang dapat mencegah haid dibolehkan dengan dua syarat:
-
apabila
tidak dikhawatirkan terjadinya mudharat. Dengan demikian, apabila dikhawatirkan
ada mudharat maka penggunaan obat/jamu tersebut tidak dibolehkan.
-
harus
mendapat izin suami apabila terkait dengan suami. Misalnya wanita tersebut
tengah dalam masa ‘iddah, yang berarti selama ‘iddah itu wajib bagi
suami untuk menafkahinya. Ternyata si wanita menggunakan obat/jamu pencegah
haid agar panjang masa berakhirnya ‘iddah dan bertambah lama waktunya
untuk mendapat nafkah. Hal seperti ini tidak dibolehkan kecuali dengan izin
suami. Demikian pula apabila obat/jamu pencegah haid itu dipastikan dapat
mencegah kehamilan, maka harus seizin suami dalam pemakaiannya. Dan apabila dua
syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka yang lebih utama adalah tidak
menggunakan obat/jamu tersebut, kecuali bila ada kebutuhan mendesak. Karena,
membiarkan sesuatu yang bersifat thabi‘i (alami) seperti apa adanya, lebih
dapat menjaga kesehatan. Dan pada akhirnya keselamatan juga yang akan diperoleh.
Adapun menggunakan obat/jamu untuk
mendatangkan haid maka dibolehkan dengan dua syarat juga:
-
Dilakukan bukan sebagai upaya tipu daya untuk
melepaskan diri dari kewajiban. Misalnya seorang wanita menggunakannya ketika
mendekati bulan Ramadlan agar ia tidak puasa atau gugur darinya kewajiban
shalat, dan yang semisalnya.
-
Harus dengan izin suami, karena haid dapat
menghalangi suami untuk menyempurnakan istimta‘ (bernikmat-nikmat dengan
istri). Sementara seorang istri tidak boleh menggunakan sesuatu yang dapat
menghalangi suami untuk mendapatkan haknya kecuali apabila suami telah ridha. Dan apabila wanita yang
menggunakan obat tersebut ternyata statusnya ditalak oleh suami dengan talak raj‘i
(bisa rujuk kembali dan sebelum berakhirnya ‘iddah dapat berkumpul lagi
tanpa memperbaharui pernikahan), maka hal itu menyebabkan penyegeraan jatuhnya
hak suami untuk rujuk (tanpa harus memperbaharui pernikahan).
Dengan
demikian hukum memperlambat ataupun mempercepat masa haid bagi seorang wanita
itu tidaklah terlarang, asalkan memenuhi syarat-syarat di atas. Dan islam tidak
serta melarang umatnya untuk mengatur masa haidnya dengan meminum obat dan
sebagainya. Hanya saja akan jauh lebih baik apabila sesuatu itu alami, sehingga
tidak menimbulkan efek samping medis yang membahayakan dirinya dan mungkin akan
bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga wanita yang hendak
melakukan hal ini harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli obstetri atau
Sp.Og.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Haid
menurut bahasa berarti mengalir sedangkan menurut istilah para ulama’ fiqh
adalah darah yang keluar dengan
sendirinya (bukan dikarenakan melahirkan) dari kubul seorang wanita dalam usia tertentu,
yakni mencapai 9 tahun atau lebih, serta
tidak disebabkan karena melahirkan.
Haid
mempunyai batas awal dan batas akhir. Adapun batas minimal masa haid adalah
satu hari satu malam, dengan syarat darahnya keluar sebagaimana biasanya ketika
sedang haid. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Syafi’i, Hanbali, Atha’,
Abu Tsaur, Auza’i dan Ishaq. Madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batas
minimal haid, bahkan cukup disebut haid dengan sekali keluar. Sedang menurut
Hanafi minimal tiga hari tiga malam.
Adapun batas
maksimal masa haid menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali adalah 15 hari 15 malam.
Selebihnya dari 15 hari, maka darah itu disebut dengan darah istihadlah (darah
penyakit). Sementara menurut madzhab
Hanafi dan syi’ah zaidiyah, masa haid paling lama adalah 10 hari.
Haid
adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, yangmana
terlarang baginya untuk mengerjakan
ibadah puasa, salat, tawaf, dan ibadah lainnya
yang menjadi kewajibannya ketika bersuci. Sehingga apabila seorang wanita yang
tengah haid melanggar ketentuan tersebut maka ibadahnya tidak sah. Karena
larangan mengenai hal ini telah ditentukan oleh syariat agama. Sementara mencegah ataupun mendatangkan haid dengan obat itu
hukumnya boleh, asal tidak mendatangkan madharat, serta telah mendapatkan
persetujuan dari suami apabila ada hubungannya dengan hak-hak seorang suami. Demikian Islam memberikan
kemudahan perkara bagi umatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri,
Abdurrahman. 1996. Fiqh empat Madzhab, ter. Chatibul Umam, dkk. Jakarta:
Darul Ulum Press.
Al-Makky,
Muhammad Nuruddin Marbu Banjar. 2004. Fiqih Darah Perempuan, ter. Jamaluddin. Solo:
Era Intermedia.
Tebba, Sudirman. 2006. Tafsir al-Qur’an;Ayat-ayat seks. Jakarta:
Pustaka irVan.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih
Aktual. Jakarta: Gema Insani Press.
http//www.asysyariah.com
[1]Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh empat Madzhab, ter. Chatibul
Umam, dkk. (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996), 267-274.
[2]Muhammad Nuruddin Marbu Banjar al-Makky, Fiqih Darah Perempuan,
ter. Jamaluddin. (Solo: Era Intermedia, 2004), 26.
[3]Al-Jaziri, Fiqih…, 278.
[4]Sudirman Tebba, Tafsir al-Qur’an;Ayat-ayat seks. (Jakarta:
Pustaka irVan, 2006), 141.
[5]Dr. Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual. (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), 243.
[6]http//www.asysyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar