Breaking News
Loading...
Rabu, 16 November 2011

Wanita Rumah Tangga Haid

Rabu, November 16, 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Wanita dalam kehidupan berumah tangga mempunyai peranan yang cukup signifikan. Baik dalam hal mengurus segala kebutuhan suami, anak, dan seluruh keluarga besarnya. Dengan demikian seorang istri wajib patuh terhadap suami dan melayani dengan sepenuh hati tanpa melanggar aturan yang telah  disyariatkan oleh agama. Namun dalam kenyataannya seorang wanita tidak dapat menghindar dari siklus bulanan (haid) yang bisa menjadikan kendala dalam melayani suami.
Seorang istri  yang sedang haid tidak diperkenankan melakukan hubungan badan dengan suaminya. Karena yang demikian dapat menimbulkan gangguan ataupun penyakit dari sudut pandang kesehatan maupun agama secara umum. Dalam hal ini seorang suami terkadang merasa terganggu dengan kondisi istrinya yang sedang haid, karena sebagian suami yang berada di posisi tersebut hasratnya tidak dapat tersalurkan secara utuh.
Agama islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin tidak pernah memberatkan umatnya. Islam selalu memberikan kemudahan-kemudahan dan opsi-opsi dengan pertimbangan-pertimbangan yang mendatangkan kemaslahatan. Dan islam menyikapi masalah yang demikian dengan memberikan kewenangan kepada seorang istri untuk memperpanjang masa sucinya sesuai prosedur dengan mendapatkan izin dari suaminya. Baik dalam urusan  beribadah maupun melayani suami. Selanjutnya dalam makalah sederhana ini akan diuraikan lebih mendetail.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian haid?
2.      Bagaimana hukum memperlambat haid bagi seorang istri?
3.      Kapan seorang istri diperkenankan memperpanjang masa sucinya?
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Haid
Haid menurut bahasa berarti mengalir sedangkan menurut istilah para ulama’ fiqh adalah sebagai berikut:[1]
-    Malikiah : Haid adalah darah yang keluar dengan sendirinya (bukan dikarenakan melahirkan) dari kubul  seorang wanita dalam usia tertentu.
-    Hanafiyah :  Haid merupakan sifat syar’i yang menyifati seorang wanita disebabkan karena keluarnya darah (dari kubulnya) yang menjadikannya haram dijamak dan dilarang shalat, puasa dan sebagainya.
-    Syafi’iyah  :  Haid adalah darah yang keluar dari kubul seorang wanita yang sehat dari penyakit yang dapat menyebabkan keluarnya darah, dan usianya telah mencapai 9 tahun atau lebih, serta tidak disebabkan karena melahirkan.
B.     Masa Haid
           Haid mempunyai batas awal dan batas akhir, masa haid adalah ukuran masa dimana seorang wanita dianggap sebagai seorang yang haid. Adapun batas minimal masa haid adalah satu hari satu malam, dengan syarat darahnya keluar sebagaimana biasanya ketika sedang haid. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Syafi’i, Hanbali, Atha’, Abu Tsaur, Auza’i dan Ishaq.[2] Mereka menegaskan bahwa apabila seorang perempuan melihat darah keluar dan lebih dari sehari semalam, maka itu merupakan darah haid.
           Madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batas minimal haid, bahkan cukup disebut haid dengan sekali keluar. Sedang menurut Hanafi batas minimal haid minimal tiga hari tiga malam, demikian halnya dengan pendapat Sufyan al-Tsauri dan penduduk Kufah. Sedangkan pada umumnya, masa haid seorang wanita adalah 6-7 hari.
           Adapun batas maksimal masa haid menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali adalah 15 hari 15 malam[3], meskipun darah tersebut tidak mengalir secara berkesinambungan. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Ali ra.
ما زاد على خمسة عشر إستحاضة
      “Selebihnya dari 15 hari, maka darah itu disebut dengan darah istihadlah (darah penyakit).”
           Sementara  menurut madzhab Hanafi dan syi’ah zaidiyah, masa haid paling lama adalah 10 hari, berdasarkan hadis Watsilah bin al-asqa’ ra: dari Nabi saw.
أقل الحيض ثلاثة أيام وأكثره عشرة أيام
    “ Minimal haid adalah 3 hari dan maksimalnya 10 hari”

C.     Larangan bagi Wanita Haid
            Haid adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, yangmana terlarang baginya untuk mengerjakan ibadah puasa, salat, tawaf, dan ibadah lainnya yang menjadi kewajibannya ketika bersuci. Sehingga apabila seorang wanita yang tengah haid melanggar ketentuan tersebut maka ibadahnya tidak sah. Karena larangan mengenai hal ini telah ditentukan oleh syariat agama. Sebagaimana sabda Rasulullah:
*إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة.   (Bila engkau haid maka tinggalkanlah salat)            
*أليس إذا حاضت لم تصل ولم تصم؟
(Bukankah bila perempuan haid maka ia tidak salat dan tidak puasa).                         
*إفعلي ما يفعل الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت حتى تطهري.
                    (Kerjakan apa yang dikerjakan orang-orang yang berhaji selain tawaf).
            Adapun seorang istri yang haid juga terlarang beginya untuk melakukan hubungan intim dengan suaminya[4] dengan alasan apapun sampai ia bersuci. Sebagaimana firman Allah:
...لا تقربوهن حتى يطهرن (البقرة:222)
Artinya,” …Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci”.
D.    Regulasi Haid; Upaya beribadah dan melayani suami
Wanita tidak terlepas dari haid yang telah menjadi siklus bulanan. Hal ini menjadi toleransi tersendiri bagi kaum hawa untuk meninggalkan ibadah yang dijalankannya di saat ia suci. Namun tidak sedikit di antara mereka yang dilanda kegelisahan saat menjalani masa-masa haid, yang diindikasi sebab berkurangnya intensitas ibadah kepada Allah SWT. Sehingga tidak jarang dari mereka yang memiliki tingkat emosi yang memuncak saat haid tiba.
Selain itu, pada saat seorang istri sedang mengalami masa haid kadangkala bisa menyebabkan timbulnya keresahan bagi seorang suami disebabkan karena hasratnya tidak dapat tersalurkan secara penuh, sehingga ada upaya untuk memperpanjang masa suci seorang wanita dengan beberapa cara yang di pandang mendatangkan kemaslahatan dalam perspektif agama dan kesehatan khususnya.
Adapun Islam adalah agama yang fleksibel dan selalu memperhitungkan hal-hal baru yang bisa mendatangkan kemaslahatan bagi umatnya. Sebagaimana yang telah dipraktekkan di Indonesia, ketika seorang wanita akan melaksanakan ibadah haji yang telah ditentukan tanggal keberangkatannya tidak akan dapat ditunda semaunya hanya karena alasan datang bulan. Dengan demikian sesaat sebelum keberangkatan ke Tanah suci, seorang wanita diberikan suntikan atau semacamnya untuk mencegah datangnya haid.
Sementara bagi seorang wanita yang menunda haid dengan cara meminum obat dengan harapan dapat menyempurnakan bilangan puasa di bulan Ramadlan, sebaiknya tidak melakukan hal yang demikian. Karena Allah memberikan kemurahan atas gugurnya kewajiban puasa bagi wanita yang haid. Di samping itu kondisi badan wanita yang sedang haid mengalami kelemahan pada setiap urat-uratnya, lemah, labil dan sebagainya. Dengan catatan adanya kewajiban menqadla’ pada hari-hari yang lain.
Menurut Dr. Setiawan Budi Utomo[5], segala sesuatau itu akan lebih afdlol apabila berjalan sebagaimana mestinya, alamiah, serta sesuai dengan tabiat dan fitrahnya. Sedangkan menurut As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin[6] dalam kitabnya Risalah fid Dima’ith Thabi‘iyyah lin Nisa’ dijelaskan bahwa penggunaan obat/jamu yang dapat mencegah haid dibolehkan dengan dua syarat:
-       apabila tidak dikhawatirkan terjadinya mudharat. Dengan demikian, apabila dikhawatirkan ada mudharat maka penggunaan obat/jamu tersebut tidak dibolehkan.
-       harus mendapat izin suami apabila terkait dengan suami. Misalnya wanita tersebut tengah dalam masa ‘iddah, yang berarti selama ‘iddah itu wajib bagi suami untuk menafkahinya. Ternyata si wanita menggunakan obat/jamu pencegah haid agar panjang masa berakhirnya ‘iddah dan bertambah lama waktunya untuk mendapat nafkah. Hal seperti ini tidak dibolehkan kecuali dengan izin suami. Demikian pula apabila obat/jamu pencegah haid itu dipastikan dapat mencegah kehamilan, maka harus seizin suami dalam pemakaiannya. Dan apabila dua syarat tersebut tidak dapat terpenuhi, maka yang lebih utama adalah tidak menggunakan obat/jamu tersebut, kecuali bila ada kebutuhan mendesak. Karena, membiarkan sesuatu yang bersifat thabi‘i (alami) seperti apa adanya, lebih dapat menjaga kesehatan. Dan pada akhirnya  keselamatan juga yang akan diperoleh.
              Adapun menggunakan obat/jamu untuk mendatangkan haid maka dibolehkan dengan dua syarat juga:
-        Dilakukan bukan sebagai upaya tipu daya untuk melepaskan diri dari kewajiban. Misalnya seorang wanita menggunakannya ketika mendekati bulan Ramadlan agar ia tidak puasa atau gugur darinya kewajiban shalat, dan yang semisalnya.
-        Harus dengan izin suami, karena haid dapat menghalangi suami untuk menyempurnakan istimta‘ (bernikmat-nikmat dengan istri). Sementara seorang istri tidak boleh menggunakan sesuatu yang dapat menghalangi suami untuk mendapatkan haknya kecuali apabila  suami telah ridha. Dan apabila wanita yang menggunakan obat tersebut ternyata statusnya ditalak oleh suami dengan talak raj‘i (bisa rujuk kembali dan sebelum berakhirnya ‘iddah dapat berkumpul lagi tanpa memperbaharui pernikahan), maka hal itu menyebabkan penyegeraan jatuhnya hak suami untuk rujuk (tanpa harus memperbaharui pernikahan).
Dengan demikian hukum memperlambat ataupun mempercepat masa haid bagi seorang wanita itu tidaklah terlarang, asalkan memenuhi syarat-syarat di atas. Dan islam tidak serta melarang umatnya untuk mengatur masa haidnya dengan meminum obat dan sebagainya. Hanya saja akan jauh lebih baik apabila sesuatu itu alami, sehingga tidak menimbulkan efek samping medis yang membahayakan dirinya dan mungkin akan bisa dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga wanita yang hendak melakukan hal ini harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli obstetri atau Sp.Og.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Haid menurut bahasa berarti mengalir sedangkan menurut istilah para ulama’ fiqh adalah  darah yang keluar dengan sendirinya (bukan dikarenakan melahirkan) dari kubul  seorang wanita dalam usia tertentu, yakni  mencapai 9 tahun atau lebih, serta tidak disebabkan karena melahirkan.
Haid mempunyai batas awal dan batas akhir. Adapun batas minimal masa haid adalah satu hari satu malam, dengan syarat darahnya keluar sebagaimana biasanya ketika sedang haid. Hal ini sesuai dengan pendapat madzhab Syafi’i, Hanbali, Atha’, Abu Tsaur, Auza’i dan Ishaq. Madzhab Maliki berpendapat bahwa tidak ada batas minimal haid, bahkan cukup disebut haid dengan sekali keluar. Sedang menurut Hanafi  minimal tiga hari tiga malam.
           Adapun batas maksimal masa haid menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali adalah 15 hari 15 malam. Selebihnya dari 15 hari, maka darah itu disebut dengan darah istihadlah (darah penyakit). Sementara  menurut madzhab Hanafi dan syi’ah zaidiyah, masa haid paling lama adalah 10 hari.
            Haid adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, yangmana terlarang baginya untuk mengerjakan
 ibadah puasa, salat, tawaf, dan ibadah lainnya yang menjadi kewajibannya ketika bersuci. Sehingga apabila seorang wanita yang tengah haid melanggar ketentuan tersebut maka ibadahnya tidak sah. Karena larangan mengenai hal ini telah ditentukan oleh syariat agama. Sementara mencegah ataupun mendatangkan haid dengan obat itu hukumnya boleh, asal tidak mendatangkan madharat, serta telah mendapatkan persetujuan dari suami apabila ada hubungannya dengan hak-hak  seorang suami. Demikian Islam memberikan kemudahan perkara bagi umatnya.
 
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Fiqh empat Madzhab, ter. Chatibul Umam, dkk. Jakarta: Darul Ulum Press.
Al-Makky, Muhammad Nuruddin Marbu Banjar. 2004.  Fiqih Darah Perempuan, ter. Jamaluddin. Solo: Era Intermedia.
Tebba, Sudirman. 2006. Tafsir al-Qur’an;Ayat-ayat seks. Jakarta: Pustaka irVan.
Utomo, Setiawan Budi. 2003.  Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani Press.
http//www.asysyariah.com



[1]Abdurrahman al-Jaziri, Fiqh empat Madzhab, ter. Chatibul Umam, dkk. (Jakarta: Darul Ulum Press, 1996),  267-274.
[2]Muhammad Nuruddin Marbu Banjar al-Makky, Fiqih Darah Perempuan, ter. Jamaluddin. (Solo: Era Intermedia, 2004), 26.
[3]Al-Jaziri, Fiqih…, 278.
[4]Sudirman Tebba, Tafsir al-Qur’an;Ayat-ayat seks. (Jakarta: Pustaka irVan, 2006), 141.
[5]Dr. Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual. (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), 243.
[6]http//www.asysyariah.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer