Breaking News
Loading...
Kamis, 17 Maret 2011

ANJURAN MENIKAH DAN LARANGAN MEMBUJANG

Kamis, Maret 17, 2011

Irsyad al-Syariy bi syarah al-Bukhary li al-Imam Syihab al-Din al-Qasthalaniy (hal.333-336)
(Bismillah al-rahman al-rahim). Nasafi mendahulukan “bismillah”. Sedangkan mengakhirkannya, adalah riwayat  para Rawi Farbariy. Adapun Abi Dzar menggugurkan bismillah. (Bab Anjuran Nikah Berdasarkan Firman Allah SWT). Versi Abu Dzar, “Karena Firman Allah SWT”, فا نكحوا ما طاب لكم من الساء, [an-Nisa’: 6]. Abu al-Waqt menambahkan bahwa asalnya ayat dan perintah merupakan kepastian anjuran. Sunnah itu sangat kecil derajatnya. Maka tetaplah anjuran itu. Adapun pendapat Daud dan yang mengikutinya bahwa nikah itu fardlu ain bagi orang yang mampu melakukan hubungan suami istri dan memberi nafkah karena ayat di atas. Rasulullah SAW bersabda kepada Ikaf bin widaah al-hilali, “apakah engkau mempunyai istri yang Ikaf?”. “tidak” jawabnya. “apakah engkau memiliki budah perempuan?”. “tidak” jawabnya. “Dan engakau orang yang normal?” Ikaf menjawab, “ya, alhamdulillah”. Kemudian Rasulullah bersabda, “kalau begitu engkau adalah teman syetan. Atau bisa jadi engkau adalah bagian dari pendeta Nasrani. Engkau adalah bagian dari mereka. Jika kamu, ingin termasuk dari golongan kami, maka lakukan lah seperti yang kami lakukan. Sesungguhnya bagian dari sunnahku adalah nikah. Kejelekanmu adalah saat kamu membujang. Kehinaanmu adalah saat kamu membujang. Nikah lah wahai Ikaf.” Ikaf berkata, “wahai Rasulullah, saya tidak akan menikah kecuali engkau menikahkan aku dengan wanita yang engaku kehendaki.” Maka Rasullullah bersabda, “sungguh saya telah menikahkan engkau dengan nama Allah. Keberkahan itu suatu kemulyaan, seperti harumnya “hamiriy”.” Diriwayatkan oleh Abu Ya’la yang bersambung sanadnya dari jalan sisanya. Sumbernya diterima. Bisa jadi sebab kewajiban itu adalah nyata pada hakikatnya. Adapun ayat tersebut dipahami dengan penjelasan beberapa kehalalan yang diketahui dari pokok-pokok agama.
(Hadis nomer 5063). Menceritakan kepada kami Said bin Abi Maryam mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far mengabarkan kepada kami Humaid bin Abi Humaid al-Thuwail, sesungguhnya dia mendengar Anas bin Malik r.a. berkata, “tiga kaum datang ke rumah istri-istri Nabi SAW. mereka bertanya tentang ibadah Nabi SAW. ketika dijelaskan, mereka seakan-akan saling berkata kepadanya. Dan mereka bekata, ‘siapa kah diantara kami  yang seperti Nabi SAW? sungguh beliau orang yang diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun  yang akan datang.’ Maka berkata lah salah seorang, ‘sesungguhnya saya shalat malam sepanjang masa.’ Dan  yang lain lagi berkata, ‘saya puasa sepanjang tahun, dan tidak berbuka.’ Dan orang  yang ketiga berkata, ‘saya menjauhi wanita, dan saya tidak menikah selamanya.’ Maka datang lah Rasulullah SAW. dan berkata, ‘kalian kah yang  berkata ini dan ini? Demi Allah, sesungguhnya saya adalah yang paling takut kepada Allah, paling takwa kepada-Nya. Tetapi saya berpuasa juga berbuka. Saya juga shalat dan juga tidur. Saya menikah dengan perempuan. Barang siapa yang benci dengan sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku.”
Berkaitan hadis di atas berkata muallif, al-Imam Sihab al-Din al-Qasthalniy. (Menceritakan kepada kami Said bin Abi Maryam) dia adalah Said bin al-Hakam bin Muhammad bin Abi Maryam al-Jumahi, tuan mereka orang-orang Bashrah, berkata: (Ja’far mengabarkan kepada kami) yakni Ibn Abi Katsir al-Madani, berkata: (menceritakan kepada kami), versi Abi Waqt: menceritakan kepadaku, dengan kata tunggal, (Hamid bin Abi Hamid al-Thawil) nama ayahnya terjadi ikhtilaf hingga sepuluh pendapat (Sesungguhnya Anas bin Malik r.a. berkata: telah datang tiga orang) isim jama’ yang tidak ada kata mufradnya. Ketiga orang tersebut adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin al-Ash, dan Utsman bin Madzh’um seperti dalam “Mursal” Said bin Musayyab menurut Abi Razzaq (ke rumah-rumah istri-istri Nabi SAW.  bertanya tentang ibadah Nabi SAW., ketika dikabarkan) dhammah hamzahnya, kashrah pertengahannya, mabni maf’ul (mereka saling berkata tentang ibadah Nabi SAW.) tasydid lamnya dan dibaca dhammah, sedikit saling berkata-kata (mereka berkata: siapa kah diantara kami yang seperti Nabi SAW? sungguh beliau diampuni) dhammah ghainnya, versi Ibnu Asakir, Abu al-Waqt dan Abu Dzar dari al-Mustamiliy, ‘Sungguh Allah telah mengampuni beliau (dosa yang telah lalu atau yang akan datang. Berkata) versi Abu al-Waqt dan Abu Dzar, berkata (salah seorang dari mereka bertiga) fathah hamzahnya, tasydid lamnya, untuk keutamaan (sesungguhnya saya) versi Abi Dzar dan al-Mustamily dan Kasymihaniy: maka saya (saya shalat malam selamanya) dibatasi untuk malam bukan kata. ‘saya shalat’ (dan yang lain berkata: saya puasa sepanjang tahun dan saya tidak berbuka) di siang hari, selain dua hari raya dan hari-hari tasyrik, karena itu tidak dibatasi dengan selama-lamanya. (dan yang lain berkata: saya menjauhi perempuan dan saya tidak menikah selamanya. Maka datang lah Rasulullah SAW) imam yang empat (Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi) menambahkan lafadz ‘kepada mereka’ (maka Nabi SAW bersabda) kepada mereka:
(kalian kah yang berkata begini dan begini. Ingatlah) fathah hamzahnya, diringankan mimnya, huruf peringatan. (demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya), Rasul SAW bersabda pada hari penaklukan kota mekkah: itu merupakan petunjuk, penolakan atas sesuatu yang mereka bangun, yaitu sesungguhnya, Rasulullah memerintah kepada mereka bahwa sesungguhnya maghfirah itu tidak mesti butuh tambahan ibadah. Berbeda dengan lainnya. Maka Rasulullah mengajarkan kepada mereka bahwa beliau yang tidak memberat-beratkan dalam beribadah itu lebih takut dan lebih takwa daripada orang-orang yang memberat-beratkan. Karena sesungguhnya memberat-beratkan ibadah itu tidak aman dari rasa bosan. Berbeda dengan maksud. Maksud itu memungkinkan konsistennya dan bagusnya amal selama pemiliknya masih hidup.
Adapun Nabi SAW meskipun diberi kekuatan untuk beribadah, tetapi syariat telah memberi tuntunan. Beliau mengajar umatnya pada jalan yang tidak membosankan pelakunya. Ibnu Munir berkata: mereka beranggapan bahwa takut adalah sebab ibadah. Mereka takut diliputi siksa. Ketika mengetahui bahwa Nabi SAW diampuni,  mereka menyangkan tidak ada ketakutan dan mempersedikit ibadah. Maka Rasulullah SAW menolak mereka. Beliau menjelaskan bahwa tidak ada ketakutan dahsyat yang lebih besar daripada memperbanyak hak yang terputus. Sesungguhnya istikomah itu meskipun sedikit lebih banyak daripada banyak ketika terputus. Itu merupakan dalil kesahihan mazhab al-Qadhi, hingga berkata: seandainya Allah mewajibkan sesuatu, maka Dia akan mewajibkan. Meskipun Dia tidak mengancam dengan siksa saat dilanggar. Ini adalah maqam Rasulullah SAW yang menyembah karena syukur dan memulyakan. Bukan karena takut siksa. Dan Rasulullah SAW itu seorang yang terpelihara dari dosa.
(tetapi saya) berkaitan dengan sesuatu yang dibuang. Konteks kalimat yang menunjukkan hal itu. Perkiraannya adalah saya sama-sama dengan kalian bersandar pada penghambaan. Tetapi saya (puasa juga berbuka, shalat juga tidur, dan saya menikahi perempuan, barang siapa benci) berpaling (dari sunnahku) jalanku dan meninggalkannya (maka dia bukan dari golonganku) ketika dia tidak mengikat diri dengannya. Sunnah itu kata tunggal dan disandarkan yang meliputi seluruh yang lebih rajih. Maka di dalamnya termasuk dua syahadat dan rukun-rukun Islam. Maka barang siapa yang berpaling darinya maka dia menjadi murtad. Demikian itu ketika berpalingnya dia merupakan pekerjaan yang sengaja dilakukan yang membawa pada keyakinan pada paling benar dan kuatnya amalnya itu. Adapun jika merupakan perumpamaan takwil seperti karena wara’,  kerena adanya syubhat pada waktu itu atau tidak mampu menegakkannya atau karena ada maksud baik, maka pelaku membujang tersebut mendapat peringatan.
Dalam anjuran menikah ini ada perbedaan pendapat, apakah ia merupakan ibadah atau sesuatu yang mubah saja?. Maka Imam Hanafi berkata bahwa yang paling shahih, nikah merupakan sunnah muakkad. Imam Syafi’i berkata: Nikah termasuk pada perbuatan sunnah. Al-Qamuli berkata dalam syarah “al-Wasith” yang diberi judul “al-Bahr”, di bab dikah. Imam berpendapat bahwa sesungguhnya nikah merupakan bagian dari syahwat bukan sarana mendekatkan diri. Imam al-Syafi’i berkata dalam al-Um: “Allah SWT berfirman (زين للناس حب الشهوات مت النساء ) [Ali Imran: 14].” Rasulullah SAW bersabda: “cintai lah aku melebihi dunia, dan perempuan yang baik”, dan mengharapkan keturunan darinya merupakan perintah yang dhzan yang tidak diketahui apakah baik atau buruk.
Sungguh al-Syeikh Kamal al-din bin al-himam mengikuti pendapat mereka yang mengatakan membujang itu lebih utama karena ibadah. Dia berpendapat bahwa hakikat keutamaan itu meniadakan mubahnya nikah. Karena tidak ada keutamaan sama sekali dalam hal mubah.
(Hadis nomor 5064) menceritakan kepada kami Ali yang mendengar Hasan bin Ibrahim dair Yunus bin Yazid dari Zuhri, berkata: Urwah mengabarkan kepadaku bahwa dia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah SWT: وإن خفتم أن لا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أن لا تعدلوا, Aisyah menjawab: “wahai putra saudariku (keponakan) yatim itu berada pada penjagaan walinya. Jika dia senang kepada harta dan kecantikan yatim tersebut dan ingin mengawininya dengan lebih dekat dengan memberi nafkah, maka mereka dilarang menikahinya kecuali mereka dapat adil dengannya dan menyempurnakan memberi nafkah. Dan mereka diperintah menikah dengan perempuan lain.
Muallif menjelaskan: (menceritakan kepada kami Ali) dia adalah Ibnu Abdillah al-madini seperti yang diyakini oleh al-Mazy seperti Abu Masud sesungguhnya dia (mendengar Hasan bin Ibrahim) al-Karmaniy al-Anazy, gubernur Karman (dari Yunus bin Yazid) al-Ayliy (dari Zuhry) Muhammad bin Muslim bin Syihab sesungguhnya dia (berkata: mengabarkan kepadaku) lafadz mufradz (Urwah) bin al-Zabir bin al-Awwam (sesungguhnya dia bertanya kepada Aisyah) r.a. (tentang firman Allah: وإن خفتم أن لا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم أن لا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى أن لا تعدلوا) [an-Nisa’: 3] lebih dekat jika kalian tidak berpaling dari perkataan mereka yang melampaui ukuran (berkata) Aisyah: (wahai anak saudara perempuanku) Asma’ dia (yatim) yang bapaknya telah meninggal (berada dalam penjagaan walinya) yang menegakkan urusan-urusannya (senang kepada harta dan kecantikannya bermaksud menikahinya lebih dekat) lebih sedikit (dari sunnah menafkahinya) semisal mahar (maka mereka dilarang) dhammah nun dan ha’nya (menikahinya kecuali berlaku adil kepadanya dan menyempurnakan nafkahnya) berdasarkan kebiasaanya (mereka dipertintah) dengan wawu (menikah dengan selainnya) selain yatim (dari perempuan-perempuan). Tafsir ini telah tercantum di tafsir surat an-Nisa’



1 komentar:

 
Toggle Footer