Breaking News
Loading...
Sabtu, 12 Maret 2011

KANDUNGAN MENELITI MATN HADIS

Sabtu, Maret 12, 2011

1.      Membandingkan kandungan matn yang sejalan atau tidak bertentangan.
Setelah susunan lafal diteliti, maka langkah berikutnya ialah meneliti kandungan matn. Dalam meneliti kandungan matn, perlu diperhatikan beberapa matn dan dalil lain yang mempunyai topik permasalahan yang sama.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya matn lain yang memiliki topik permasalahan yang sama, maka perlu dilakukannya takhrijul hadis bil-maudhu’. Apabila ternyata terdapat matn yang bertopik sama, maka matn tersebut perlu diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memerlukan syarat, maka kegiatan Muqaranah kandungan matn dilakukan.
Apabila kandungan matn yang diperbandingkan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian terlah berakhir. Namun dalam peraktek kegiatan biasanya masih perlu dilanjutkan, misalnya memeriksa penjelasan masing-masing matn diberbagai kitab syarah. Dengan mempelajari kitab syarah akan dapat diketahui lebih jauh hal penting yang berkaitan dengan matn yang diteliti, misalnya pengertian kosakata, khususnya untuk kata-kata yang Garib (asing). Pendapat ulama, dan hubungannya dengan dalil-dalil yang lain.
Apabila kandungan matn yang diteliti ternyata sejalan juga dengan dalil lain yang kuat, minimal tidak bertentangan, maka dapatlah dinyatakan bahwa kegiatan penelitian telah selesai. Apabila yang terjadi ialah sebaliknya, yakni kandungan matn yang bersangkutan tampak bertentangan dengan matn atau dalil lain yang kuat, maka kegiatan penelitian masih harus dilanjutkan.

2.      Membandingkan kandungan matn yang tidak sejalan atau tampak bertentangan.
Sesungguhnya tidak mungkin hadis nabi bertentangan dengan hadis nabi ataupun dalil al-Qur’an, sebab apa yang dikemukakan oleh nabi, baik berupa hadis maupun ayat al-Qur’an sama-sama berasal dari allah. Namun pada kenyataanya, terdapat sejumlah hadis nabi yang tampak tidak sejalan dengan ayat al-Qur’an. Bila demikian, maka pasti terdapat sesuatu yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini peneliti dituntut untuk mampu menggunakan pendekatan yang sah dan tepat menurut yang dituntut oleh kandungan matn yang bersangkutan.
Dalam menyebut kandungan matn hadis yang tampak bertentangan dengan istilah. Ulama tidak sependapat, sebagaiman menyebutkannya dengan istilah Mukhtaliful hadis sebagian lagi menyebutnya dengan Mukhalafatul hadis dan pada umumnya ulama menyebutnya dengan At-Ta’rud.
Berbagai hadis yang tampak bertentangan (at-ta’arud) telah dihimpun oleh ulama dalam kitab-kitab khusus. Ulama yang memelopori kegiatan penghimpunan itu ialah imam asy-syafi’I dengan karyanya yang berjudul kitab Ikhtilafil hadis. Ulama berikutnya yang tempak bertentangan itu ialah ibnu Qataibah (W. 276 H) dengna judul ketibanya Musykilul asar, ibnu khuzaimah (W. 311 H), Ibnu jarir (W. 310 H / 923 M), dan ibnu jauzi (W. 597 H).
Ulama sependapat bahwa hadis yang tampak bertentangan harus diselesaikan, sehingga hilanglah pertentangan itu. Dalam melakukan penyelesaian ulama berbeda pendapat. Ibnu hazm secara tegas menyatakan bahwa matn hadis yang bertentangan masing-masing hadis yang diamalkan. Ibnu hazm menekankan perlunya penggunaan metode istisna’ (pengecualian atau exception) dalam penyelesaian itu.
Cara yang ditempuh oleh ibnu hazm berbeda dengan cara yang telah ditempuh oleh asy-syafi’I. dalam hal ini asy-syafi’I memberi gambaran bahwa mungkin saja matn hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bawha matn yang satu bersifat global (Mujmal) dan yang satunya bersifat rinci (Mufassar): mungkin yang satu bersifat umum (‘amm) dan yang satu bersifat khusus (khass) mungkin yang satu sebagai penghapus (an-nasikh) dan yang lain sebagai yang dihapus (al-mansukh) atau mungkin kedua-duanya menunjukkan kebolehan untuk diamalkan. Dalam kitabnya yang telah disebutkan diatas, asy-syafi’I secara khsus membahas dan menerangkan penyelesaian yang telah dilakukannya.
Syihabud din abdul abbas ahmad bin idris al-Qarafi (W. 684 H) menempuh cara tarjikh (penelitian untuk mencari petunjuk yang memiliki argument yang kuat). Dengan cara at-tarjikh iti, mungkin penyelesaian yang dihasilkan berupa penerapan an-nasikh wal mansukh (yakni hadis yang satu menghapuskan petunjuk hadis yang lainnya) ataupun al-jami’u (yakni pengkompromian, maksudnya hadis yang tampak bertentangan itu sama-sama diamalkan dengan melihat seginya masing-masing). At-tahawani menempuh cara nasikh wal mansukh kemudian tarjih, salahudin bin ahmad al-adlabi menempuh cara al-jam’u kemudian at tarjih. Ibnys salah, fasihul harawi (W. 837 H) dan lain-lain menempuh tiga cara kemungkinan, yakni 1) al-jam’u 2) an-nasikh wal mansukh 3) at-tarjih. Muhammad adib saleh menempuh cara 1) al-jam’u 2) at-tarjih, kemudian 3) an-nasakh wal mansukh. Ibnu hajar al-asqalani dan yang lainnya menempuh empat tahap yaitu 1. Al-jam’u 2. An-nasikh wak mansukh 3. At- tarjikh dan 4. At-tauqif (menunggu sampai ada petunujuk atau dalil lain yang dapat menyelesaikannya atau menjernihkannya).
Dari beberapa pertanyaan tersebut tanpak jelas bahwa terdapat perbedaan cara penyelesaian yang ditempuh oleh para ulama, termasuk beberapa urutannya. Meskipun demikian tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya selalu berbeda. Perbedaan tahap cara penyelesaiannya ternyata banyak juga membuahkan hasil yang sama, hal itu dapat dipahami sebab ulama pada umumnya memandang cara al-jam’u (pengkompromian), sebagian ulama menyebutnya at-taufiq dan sebagainya lagi menyebutnya al-taufiq merupakan pilihan utama dalam upaya menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan sepanjang cara itu memungkinkan bahka bagi ibnu hazm cara al-jam’u dianggap sebagai satu-satunya cara yang sah.
Untuk cara penyelesaiannya yang disebut dengan at-tarjikh, ternyata yang ditempuh oleh ulama juga berbeda-beda. Hal itu dapat dimaklumi sebab cara at-tarjih dalam ilmu hadis dikenal lebih dari lima puluh macam. Cara-cara at-tarjih yang begitu banyak itu telah diuraikan oleh ulama, misalnya oleh al-iraqi (W.806 H / 1404 M) dan jalalud din as-suyuti (W 911 H / 1505 M) untuk memilih cara yang tepat, maka patokannya ialah yang sesuai dengan masalah yang harus diselesaikan.
Dilihat dari kemungkinan masalah yang harus diselesaikan tampaknya tahap penyelesaiannya yang dikemukakan oleh ibnu hajar al-asqalani lebih akomodatif. Dinyatakan demikian karena dalam praktek penelitian matn, keempat tahap atau cara itu memang lebih dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan. Keempat tahap itu sebagaimana telah dikemukakan diatas, ialah 1. At-taufiq (al-jam’u dan al-taufiq) 2. An-nasikh wal mansukh 3. At-tarjikh 4. At-taufiq. Cara yang disebut terakhir perlu ditempuh oleh peneliti bila ternyata dengan ketiga cara yang disebut terdahulu tidak dapat diselesaikan. Dengan menempuh cara at-tauqif pada penelitian hadis tertentu, penelitian akan dapat terhindar dari pengambilan keputusan yang salah.

3.      Kitab-kitab yang diperlukan.
Karena segi yang dikemukakan oleh matn hadis bermacam-macam, maka kitab-kitab yang diperlukan untuk penelitian sususnan lafal dan kandungan matn juga bermacam-macam. Untuk sekedar memberikan gambaran umum, berikut ini dikemukakan jenis-jenis kitab yang diperlukan yakni :
a.       Kitab-kitab syarah hadis dan tafsir al-Qur’an.
b.      Kitab-kitab yang membahas garibul hadis, asbab wurudil hadis, mukhtaliful hadis, fiqhul hadis, dan mustalah hadis.
c.       Kitab-kitab ushul fiqih dan fiqih.
d.      Kitab sejarah nabi pada khususnya dan sejarah islam pada umumnya.
e.       Kitab-kitab ilmu kalam (Teologi islam).

4.      Menyimpulkan hasil penelitian matn.
a.       Natijah dan argumen.
Setelah beberapa langkah yang telah dikemukakan di atas selesai dilakukan maka langkah terakhir yang dilakukan oleh peneliti ialah menyimpulkan hasil penelitian matn, sebab kualitas matn hanya dikenal dua macam saja, yakni sahih dan da’if, maka kesimpulan penelitian matn akan berkisar pada dua kemungkinan tersebut.
Sebagaimana halnya penelitian sanad, maka dalam menyimpulkan penelitian matn juga harus didasarkan kepada argumen yang jelas. Argumen tersebut dapat dikemukakan sebelum diajukan natijah atau pun sesuadah diajukan natijah.
Apabila matn yang diteliti ternyata sahih dan sanadnya juga sahih, maka dalam natijah disebutkan bawha hadis yang diteliti berkualitas sahih. Apabila matn dan sanad sama-sama berkualitas dhaif, maka dalam natijah disebutkan hahwa hadis yang diteliti berkualitas daif. Apabila antara matn dan sanad berbeda kualitasnya, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan.
Beberapa contoh dalam penelitian matn hadis yaitu meneliti matn hadis yang dikandungnya tampak bertentangan dengan matn hadis yang lain, dalam hadis riwayat muslim ad-darimi dan ahmad dinyatakan:


(hadis riwayat) dari abu said al-khurdi bahwa rasulullah telah besabda janganlah kamu tulis (apa yang berasal) dariku dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-qur’an maka hendaklah dia menghapusnya.
Hadis di atas nampak bertentangan dengan hadis riwayat al-bukhari, muslim, dan abu daud yaitu :


(hadis riwayat) dari abu hurairah, dari nabi saw..... beliau bersabda (kepada para sahabat) tuliskanlah (khutbah saya tadi) untuk abu syah (yang meminta untuk dituliskan tersebut).
Hadis yang disebut pertama kali juga tampak bertentangan dengan hadis riwayat abu daud, ad-darimi dan ahmad yang berbunyi:










(hadis riwayat) dari abdullah bin amr, dia berkata: saya menulis setiap yang saya dengar dari rasulullah saw, saya bermaksud untuk menghafalnya. Orang-orang quraisy mencegah saya (agar tidak menulis setiap apa yang saya dengar dari rasulullah) dan mereka berkata. “apakah anda menulis setiap yang anda dengar dari rasulullah, padahal rasulullah saw ialah manusia biasa juga yang bersabda dalam keadaan marah dan dalam rela (tidak marah), maka anda berpegang pada petunjuk dari kitab yang anda tulis itu,” maka saya mengemukakan hal itu kepada rasulullah saw, rasulullah lalu mengisyaratkan jari-jari pada lisannya seraya bersabda “tulislah, demi yang jiwa saya berada ditangannya, tidaklah keluar darinya, kecuali yang benar”.
Masih ada lagi beberapa hadis yang senada dengan kedua hadis yang diebutkan terrkhir di atas. Kandungan matn hadis yang dikutib pertama tampak bertentangan (at-ta’arud) dengan kandungan matn hadis berikutnya.
Dalam upaya menyelesaikan kandungan matn hadis yang tampak bertentangan itu ulama berbeda pendapat, ibnu hajr al-asqalani telah menghimpun pendapat itu menjadi lima macam yaitu :
1)      Pengkompromian (al-jam’u), dalam hal ini hadis yang mengandung larangan menulis hadis dipahami sebagai berstatus khusus (khass) untuk saat ayat al-qur’an turun dan keizinan menulis hadis berlaku di luar waktu tersebut. Kebijakan nabi itu berlatarbelakang kekhwatiran terjadinya kerancuan dalam mencatat al-qur’an dengan bukan al-qur’an.
2)      Pengompromian (al-jam’u) dalam hal ini larangan penulisan dipahami sebagai berstatus kusus (khass) bagi yang mencampur adukkan catatan al-qur’an dan hadis nabi pada satu himpunan catatan, sedangkan keizinan berlaku bagi yang melakukan penulisan secara terpisah antara catatan al-Qur’an dan catatan nabi.
3)      Penerapan an-nasikh wal mansukh yakni hadis yang berisi larangan menulis hadis merupakan kebijakan nabi yang datangnya lebih dahulu, sedang kebijaksanaan yang terakhir berisi keizinan untuk menulis hadi sebab kekhawatiran terjadinya kerancuan catatan al-qur’an dan hadis telah tidak ada lagi.
4)      Pengkompromian (al-jam’u) dalam hal ini larangan berstatus khusus (khass) bagi orang yang kuat hafalannya yang dikahwatirkan dia lalu hanya menyandarkan pengetahuan hadisnya kepada catatan saja, sedang keizinan menulis hadis diberikan kepada yang tidak kuat hafalannya.
5)      Menurut al-bukhari dan lain-lain, hadis yang mengandung larangan menulis hadis, yakni riwayat abu said al-khudri tersebut berstatus mauquf (hadis yang disandarkan kepada sahabat dan tidak sampai kepada nabi) hal tersebut menjadikan hadis yang bersangkutan mengandung illat (cacat), dan karenanya tidak dapat dijadikan hujah. (dengan menyatakan dalam matn hadis itu bukanlah sabda nabi, melainkan pernyataan sahabat nabi).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer