Orientalis berasal dari kata orient yang berarti timur. Secara etnologis orientalis berarti bangsa-bangsa timur, dan secara geografis berarti hal yang bersifat ketimuran yang mempunyai ruang lingkup cukup luas. Dan orang non timur (Non Muslim) yang menekuni dunia ketimuran dapat di sebut orientalis. Orientalisme merupakan gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian mengenai Negara-negara timur (Islam). Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa, kebudayaan, dan lain sebagainya. Gagasan pemikiran tersebut telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi barat tentang islam dan dunia islam. Dengan cara menyebarkan kemunduran berfikir dunia islam dalam pertarungan peradaban antara timur (Islam) dan Barat (Non Muslim).
Dari keberadaan tersebut seseorang dapat melihat adanya keselarasan antara alam idealis dengan alam empiris histirs. Dan hal itulah yang dilakukan oleh Joseph Schacht sebagai salah satu sekian banyak para orientalis yang mengkaji Islam. Ia adalah sarjana yang sangat masyhur dalam penelitian Hukum Islam, sebab sepanjang hidupnya ia mengabdikan diri kepada kajian historis perkembangan Hukum Islam, sehingga penelitiannya dalam bidang Hukum Islam menghasilkan karya yang berjudul “The Orgins Of Muhamadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law”.
Ia sendiri mengikuti paradigma yang sudah digagas oleh orientalis sebelumnya yaitu Ignaz Golziher (seorang orientalis dari Hongaria yang terkenal The Encylopedia Of Islam dengan karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien), Ignaz Golziher menyimpulkan seluruh hadis adalah buatan kaum muslimin pada tiga abad pertama hijriah dan bukan perkataan Nabi Muhammad. Selain dari itu ia mengatakan bahwa hukum-hukum syara’ belum dikenal oleh sebagian besar orang muslim pada abad pertama. Sebab ketidak tahuan hukum Syara’ dan sejarah Muhammad menimpa imam-imam besar, sehingga analisa yang dia munculkan hampir mirip dengan analisa yang dipakai oleh Joseph Schacrt.
A. Biografi Joseph Schacht
Joseph Schacht ialah seorang sejarawan Hukum yang memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi ilmu pengetahuan, baik tentang perkembangan sejarah Hukum Islam atau tentang Sunnah Nabi, dua persoalan yang Fundamental tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Pendekatannya mungkin dapat disimpulkan sebagai perluasan dari sikap skeptis Ignaz Goldziher terhadap pembentukan Hukum Islam dalam Hadis Nabi yang memiliki peranan.
Schacht lahir pada tanggal 15 maret 1902 di Ratibor Silesia, (dulu termasuk wilayah Jerman, tapi sekarang sudah termasuk wilayah Polandia, Raciborz), hanya menyeberangi perbatasan dari Cekoslowakia. Ia juga berasal dari Keluarga yang Relative Agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut Katolik Roma dan Sebagai Guru Anak-anak bisu dan tuli. Pada Tahun 1945 ia menikah dengan Loise Isabel Dorothy dari ingris.[1]
Joseph Schacht memulai pendidikannya di Ratibor (kediamannya). Setelah mempelajari bahasa yahudi dari seorang Rabbi dan setelah menerima pendidikan di Gymnasium Klasikal (1911-1920) ia melanjutkan Studinya di Universitas Breslau (Wroclaw) untuk mempelajari Filosof klasik semitik dan teologi. Karirnya dimulai sejak menerima pemilihan akademis di Universitas Freiburg Breusgau pada tahun 1925. Dua tahun kemudian dia dipilih sebagai asisten Professor ketika berusia 25 Tahun. Pada Tahun 1929 merupakan tahun terpenting dalam karirnya, sebab pada tahun tersebut ia dipromosikan menjadi professor penuh di bidang bahasa ketimuran. Pada tahun 1932 ia diminta untuk menduduki jebatan di bidang yang sama di Universitas Konigsbers dimana ia tinggal hanya dua tahun, sebab pada tahun 1932 ia meletakkan jabatannya sebagai syarat protes terhadap Rezim Nazi. Pada tahun 1939 ia pindah ke ingris dan bekerja di sana sebagai seorang peneliti masalah-masalah ketimuran di departemen penerapan Ingris. Pada tahun 1946 ia pertama kali dipilih sebagai dosen di Universitas Oxford. Pada tahun 1954 dengan berat hati ia meninggalkan jabatannya di Oxford dan pergi ke Belanda untuk menjabat sebagai guru besar di bidang Bahasa Arab dan kajian keislaman di Universitas Columbia pada tahun 1957-1958. Pada Bulan Januari 1970 ia mempunyai maksud untuk mengundurkan diri dari Universitas Columbia Karena ia ingin pulang kembali ke Ingris bersama istrinya, dimana ia melanjutkan rutinitasnya sebagai sarjana dan melakukan sebuah penelitian kembali. Akan tetapi semua keinginannya tidak terealisasikan dengan baik, karena tiba-tiba ia terserang pendarahan di otak dan meninggal dunia di rumahnya di New Jersey pada tanggal 1 Agustus 1969.[2]
B. Pemikiran Joseph Schacht
Pemikiran Joseph Schacht mempunyai kepercayaan Tradisional mengenai Hukum Islam yang telah mapan, sejak abad ke 19 ia dihadapkan oleh berbagai tantangan serius. Mulai dari kolonialisasi dan Imperialisme pengaruh barat terhadap dunia Islam yang sangat dominan, sehingga berakibat beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan dan di gugat. Salah satunya ditujukan terhadap doktrin-doktrin sumber Hukum Islam. Hal tersebut berbeda dengan pemahaman Tradisional, kajiannya tidak bersifat Teologis maupun Yuridis, akan tetapi lebih bersifat Historis dan Sosiologis. Ia menawarkan Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan Tuhan, akan tetapi sebagai fenomena Historis yang berhubungan erat dengan seting sosial dalam artian ia meneliti keaslian sumber Hukum Islam melalui proses sejarah. Oleh sebab itu bagaimanapun masa lalu yang mempengaruhi masa kini, dan masa kini mempengaruhi masa yang akan datang. Sehingga tidak di herankan apabila sebagian besar Hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan sejarah.
Salah satu kementarnya sangat kontracesial dan menggugat keimanan seorang muslim yang saleh ialah pertanyaan bahwa rujukan hadis-hadis dari para sahabat nabi merupakan prosedur yang lubih tua, dan teori tentang otoritas hadis-hadis nabi yang lebih berkuasa ialah inovasi. Dan untuk membuktikan gagasan ini ia menguji evolusi istilah sunnah sebagaimana telah di pakai pada masa Arab pra Islam dalam tradisi Lisan. Aliran fikih klasih dari para sahabat nabi sampai pembukuan hadis pada masa Umar Ibn Abdul Aziz dari dinasti Umayyah, oleh ahli hukum yang terkenal seprti Syafi’i. Syafi’I sendiri berhasil membuat gagasan freksibel sunnah sebagai kumpulan praktik yang telah diterima dalam Madzhab-madzhab awal yang disebut sebagai “Tradisi Hidup” Madzhab-madzhab.[3]
Kemudian ia merumuskan teori Yurisprudensi hukum Islam dengan Empat sumber Hukum. Pertama : Al-Qur’an yang dijelskan didalamnya dan diterima. Kedua : As-Sunnah atau praktik Nabi Muhammad yang dikisahkan Hadis Shahih. Nah kedua sumber hukum ini tidak seluruhnya bisa menjawab semua persoalan Masyarakat, oleh sebab itu harus ditambahkan dua sumber Hukum yang lain. Salah satu diantaranya ialah Qiyas, Analogi atau penalaran Analogi, yaitu persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam praktik Nabi Muhammad atau sahabat diselesaikan dengan menggunakan Analogi. Dan yang terakhir ialah Ijma’ atau Konsesus. Khususnya bagaimana istilah itu berkembang. Akan tetapi Syafi’i juga sempat terlibat polemik mengenai masalah ini dan identifikasi ekslusif sunnah dengan spesifik Nabi Muhammad SAW atau sifat kewahyuan sunnah yang memberikan bukti untuk memadai akan keberadaan spektrum pendekatan terhadap sunnah sebelum dan sepanjang karirnya.
Kemudian ia berpendapat sendiri dari istilah sunnah yang berarti kebiasaan masyarakat yang diriwayatkan oleh peristiwa lisan dan digunakan pada masa Pra Islam. Adapun sunnah tersendiri atas praktek kebiasaan prosedur atau tindakan Adat, Norma, Standar atau cara yang didukung oleh hadis. Al-Qur’an memberikan bukti bahwa prinsip pembimbing kehidupan moral Pra Islam adalah sunnah Masyarakat Arab yang diriwayatkan secara lisan dari Nenek moyang mereka. Adapun yang secara kebiasaan itu benar dan pantas dan telah dilakukan oleh nenek moyang, maka hal itu patut ditiru. Sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum islam memiliki akar-akar dalam Masyarakat Pra Islam.[4]
Ide Pra Islam mengenai sunnah dalam istilah kebiasaan dapat dijadikan teladan dan Norma. Islam mengembangkan sunnahnya sendiri, seperti sistem sosial dan cara-cara legalnya yang layak, apakah hal ini diambil dari kebiasaan yang lebih tua atau diletakkan oleh hal Ihwal Nabi. Oleh sebab itu tidak mengagetkan bahwa beberapa persoalan hukum dalam islam yang berdasarkan atas kesinambungan tradisi Pra Islam seperti Hukum keluarga dan Hakam. Dalam beberapa aspek hukum keluarga yang lebih penting menurut Joseph Schacht seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, dan zihar. Kemudian mengenai kasus poligami yang disetujuai oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah nabi ialah praktek-praktek orang arab Pra Islam. Meskipun terdapat berbagai modifikasi mengenai batasan jumlah istri yang sekaligus dapat dinikahi.[5]
Joseph Schacht termasuk Orientalis yang cukup produktif. Meskipun ia dikenal dengan kecenderungannya dalam mengkaji dan mendalami fikih, ia juga banyak menulis karya dalam bidang-bidang yang lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman badawi bahwa karya-karya Joseph Schacht terdiri dari beberapa disiplin ilmu antara lain ialah:
1. Kajian Mengenai Ilmu Kalam.
2. Tahqiq (Menyunting dan Mengedit) atas dasar menuskrip-manuskrip Kitab Fikih.
3. Kajian mengenai Fikih.
4. Kajian mengenai Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Islam.
5. Kajian-kajian keislaman lainnya.
Menurut penilaian Abdurrahman badawi, karya Joseph Schacht yang paling menonjol ialah karyanya dalam kajian Sejarah Fikih Islam. Karya utama Schacht dalam kajian ini ialah The Origins Of Muhammadan Jurisprudence setebal 350 halaman. Disamping pada tahun 1960 ia menerbitkan kembali buku yang berjudul An Introduction to Islamic Law (Pengantar Hukum Islam).[6]
Kadua karyanya berdominasi Fikih (Hukum Islam), hanya saja dalam kedua bukunya khususnya The Origins Of Muhammadan Jurisprudence, ia berusaha mengembangkan teori yang sempat digagas oleh pendahuluannya yaitu Ignas Goldziher dan Margoliuth, dalam metode kritik hadis yang diproyeksikan untuk meruntuhkan hukum islam. Ia juga menyajikan hasil kajiannya dalam kajian Hukum Islam dengan mengkritik hadis-hadis yang berkaitan dengan Hukum. Ia juga berkesimpulan bahwa hadis-hadis nabi mengenai hukum adalah palsu, sebab hadis hukum hanyalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijriah.
Proyek ktitiknya terhadap Hukum Islam telah meragugan peran penting dari kontribusi Al-Qur’an terhadap perkembangan Hukum Islam. Bahkan ia secara khusus berpendapat bahwa Al-Qur’an pada esensinya hanya berisikan hal-hal yang bersifat etis dan hanya sedikit yang bersifat hukum. Ia juga mengingkari adanya peran penting Al-Qur’an terhadap perkembangan Hukum Islam yang penting. Ia juga berkesimpulan bahwa hukum Islam (Muhammadan Law, istilah yang digunakannya sebagai ganti dari Islamic Law), tidak secara langsung bersumber dari Al-Qur’an, akan tetapi ia mengembangkan sebuah tradisi umum dan tersusun di bawah pemerintahan dinasti Umayyah.[7]
Dalam bukunya yang berjudul Introduction To Islamic Law, ia berkata bahwa Khulafa Ar-Rasyidin tidak menunjuk Qadji (Hakim), akan tetapi pada pemerintahan Umayyah para gubernurnya mengambil langkah-langkah penting dalam mengangkat para Hakim Islam atau Qadhi. Kemudian tesis semacam ini telah menggiring pada sebuah kesimpulan, bahwa sebagian besesar abad pertama Hijriah, Hukum Islam, dalam pengertian teknis belumlah ada. Pendapat yang senada dapat ditemukan dalam karyanya yang lain, yaitu Origins Of Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Musthafa Azami bahwa Joseph menuturkan bukti adanya hadis-hadis hukum yang membawa kemunduran sekitar tahun 100 H. Pada saat itu pemikiran hukum islam berawal dari akhir pemerintahan dan praktek popular dari dinasti Umayyah, yang masih direfleksikan dalam sebuah hadis.[8]
Kritikanya terhadap hadis-hadis Hukum Islam disebabkan oleh kelangkaan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, serta kebermulaan hukum islam mendapat hujan kritik yang cukup deras, baik dari orientalis maupun dari sarjana muslim.[9] Sejumlah orientalis seperti Goitein, Coulson, dan Powers menghujat kritikan terhadap kesimpulan Joseph Schacht. Goitein merasa bahwa sekian banyak bukti yang ada sangatlah jelas bahwa persoalan hukum yang telah dihadapkan kepada Nabi Muhammad saw diputuskan oleh beliau. Dan Prof. Dr. Musthafa Azami Menambah pendapat Joseph Schacht dengan memaparkan beberapa hal, sebagai berikut :[10]
1. Aktifitas Yudisial nabi Muhammad saw, sebagai seorang utusan sekaligus penjelasan atas Al-Qur’an, menjelaskan mengenai perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an yang masih bersifat Universal. Hal ini merupakan sebuah data yang akurat dan mematahkan tesis kebermulaan hukum islam pasca abad pertama hijriah.
2. Catatan hukum dan keputusan yang didasarkan pada keputusan atau contoh Nabi Muhammad saw.
3. Literature hukum abad pertama. Ada beberapa data yang dapat menguatkan alasan bahwa literatur hukum yang dicetuskan pada abad pertama hijriah, sebagaimana keputusan Mu’adz 18 H di baca dan diriwayatkan oleh Thawus 23-101 H di Yaman.
4. Disamping pembukuan keputusan Mu’adz, atau hasil Ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khathab, ibn Mas’ud, Urwah ibn Zubair, Zaid ibn Tsabit telah dikonfirmasikan dengan baik.
Azami berpendapat bahwa tidak ada keobjetifan Joseph Schacht dalam mengkaji fikih. Menurut Azami ia dengan sengaja membuat pengkaburan fikih dengan mengganti Nomenklaur fikih dengan nomenklatur barat. Hal tersebut dapat di tinjau dari istilah yang digunakan oleh Joseph Schacht dalam karyanya yang bertajuk (Introduction Of Islamic Law), dimana ia membagi fikih kedalam beberapa judul , orang, harta, kewajiban umum, kewajiban dan kontrak khusus, dan lain sebagainya. Sususnan tersebut menurut Azami sengaja diperkenalkan oleh Joseph Schacht, sebab dia ingin mengubah hukum islam pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik pembahasan dan pembagian yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Dari beberapa istilah yang terdapat dalam fikih di atas dapat disimpulkan bahwa sejumlah orientalis, khususnya Joseph Schacht meragukan keotentisitas fikih sebagai sebuah disiplin ilmu yang orisinil.
C. Kajian Sanad Hadis Joseph Schacht
Dalam mengkaji hadis Nabi ia lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmini, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadis). Sementara kitab-kitab yang dipakai dalam penelitiannya ialah kitab Al-Muwaththa’ (Karya Imam Malik), Al-Muwaththa’ (Karya Imam Muhammad Al-Syaibani), dan kitab Al-Umm dan Al-Risalah (Karya Imam Al-Syafi’i).[11] Akan tetapi menurut Prof. Dr. M. M Azami kitab tersebut lebih layak disebut dengan kitab-kitab Fikih dari pada kitab-kitab Hadis. Sebab kedua jenis kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu dalam meneliti hadis-hadis yang terdapat pada kitab-kitab fikih hasilnya tidak akan tepat, sebab penelitian hadis diharuskan dengan kitab-kitab hadis.
Joseph juga berpendapat bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa Al-Sya’bi (w. 110. H). penegasan tersebut memberikan pengertian bahwa apabila ditemukannya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang hidup sesuadah Al-Sya’bi. Ia juga berpendapat bahwa hukum islam baru dikenal semenjak masa pengangkaan para Qadhi (Hakim Agama). Adapun pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa dinasti Umayyah (Kira-kira 715-720 M), yang mana pengangkatan tersebut di tujukan kepada orang-orang Spesialis dan berasal dari kalangan yang taat beragama. Sebab orang-orang spesialis bertambah banyak, maka akhirnya menjadi aliran fikih klasik, yang mana hal ini terjadi pada dekade abad kedua hijriah.[12]
Sebuah keputusan hukum yang diberikan oleh Qadhi memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, sebab mereka tidak menisbahkan keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya orang Iraq yang menisbahkan pendapat meraka kepada Ibrahim Al-Nakha’I (95 H). kemudian dalam perkembangan berikutnya pendapat para Qadhi tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat lagi, pendapat tersebut dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud, kemudian pendapat mereka dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw. Nah Rekonstruksi Sanad Hadis menurut Joseph, yaitu dengan memproyeksikan pendapat tersebut kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada di belakang mereka, dan disebut teori Projecting Back. Kemudian muncul aliran-aliran fikih klasik yang membawa konsekuensi Logis, yaitu bermulannya kelompok oposisi yang terdiri dari Ahli hadis. Pemikiran dasar kelompok ahli hadis ialah hadis yang berasal dari nabi Muhammad saw. Dan harus mengalahkan aturan yang dibuat oleh kelompok aliran fikih. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli hadis membuat penjelasan dan hadis, seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan atau diucapkan oleh nabi Muhammad saw. Mereka juga mengatakan bahwa hal tersebut diterima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat hadis yang dapat dipercaya.
Joseph Schacht berpendapat bahwa kelompok aliran fikih klasik dan ahli hadis adalah pemalsu Hadis, sebab sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa Yaqub,[13] Joseph Schacht mengetakan “we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic (kita tidak akan dapat menemukan satupun hadis nabi yang berkaitan dengan hukum yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis saheh)”. Dan untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khsusunya Joseph Schacht yang telah meneliti aspek sejarah, M Azami membantah teori Joseph Schaht, khususnya mengenai sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus mengenai hadis nabi yang terdapat dalam naskah klasik, diantanya ialah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w/138 H). Abu Shaleh (ayah suhail) ialah murid Abu Hurairah sahabat nabi Muhammad saw.
Adapun naskah Suhail berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis tersebut sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-Thabaqah Al-tsalitsah), termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membutikan bahwa pada jenjang ketiga jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antaranya india sampai maroko, antara turki sampai yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil meneurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sengat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Artinya Azami bertolak belakang dengan kesimpulan Joseph Schacht, baik mengenai rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) hadis.
Azami mengemukakan hadis dengan contoh hadis nabi yang artinya:
Nabi Muhammad bersabda : apabila salah seorang di antra kalian bagun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada dimana.
Hadis ini dalam sebuah naskah Suhail bin abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi sahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan hadis ini kepada 13 orang Tabi’in (generasi kedua). 13 Tabi’in ini meyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang menetap di Madinah, seorang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Basharah, 1 orang tinggal di Yaman, dan 1 orang lagi tinggal di Syam.
Kemudian 13 Tabi’in tersebut meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (Tabi’it Tabi’in), sehingga jumlah mereka menjadi 16 orang. 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Mekah, 1 orang tinggal di Yaman, 1 orang tinggal di Khurasa, 1 orang tinggal di Syam. Maka mustahil apabila 16 orang yang domisilinya terpecah-pecah di tujuh kota yang berjauhan pernah berkumpul pada satu saat untuk bersama-sama membuat hadis palsu yang redaksinya sama, atau lebih mustahil pula jika mereka secara sendiri-sendiri di kediaman masing-masing membuat hadis, dan kemudian diketahui bahwa redaksi hadis tersebut secara kebetulan sama. 16 perawi di atas hanya dari jalur Abu Hurairah. Dan apabila jumlah perawi ditambah dengan perawi dari jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib, maka jumlah perawi akan menjadi banyak. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Joseph Schacht dengan teori Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis tersebut baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para Qadhi dalam menetapkan suatu hukum ialah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan oleh persepsi Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang mustahil sampai kepada Rasulullah saw melalui jalur yang disebutkan di atas, akan tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari nabi Muhammad saw.
[1] http://hankkuang.wordpress.com/2009/11/08/345/
[2] http.www.kotobarabia.com
[3] Irwandi Dekonstruksi Pemikiran Islam (Identitas Nilai dan Realitas Empiris), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003, hal 7-8.
[4] http://hankkuang.wordpress.com/2009/11/08/345/
[6] http://www.fiqhislam.com/index.php/as-sunnah/ulumul-hadits/10125
[8] Hanafi, Hasan, Oksidentalisme, Jakarta: Paramadina, 1999, hal 34
[9] Rasyid, Daud, Islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hal 33
[10] http://isepmalik.wordpress.com/
[11] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19
[12] Ibid . hal 20
[13] Ibid, Musthafa. hal 23.
0 komentar:
Posting Komentar