Breaking News
Loading...
Jumat, 04 Februari 2011

Tafsir Kontroversi

Jumat, Februari 04, 2011
A.      Persepsi Quraish Shihab Mengenai Syirik
Quraish shihab merupakan seorang tokoh penafsiran dalam dunia islam di Indonesia. Terbukti dari beberapa karyanya yang menjadi acuan pembelajaran mengenai tafsir, dan penafsiran quraish shihab dapat dipelajari oleh semua kalangan, sebab kata yang di gunakan oleh quraish shihab berupa kata yang gampang dipahami oleh semua kalangan, baik mahasiswa atau lainnya. Namun dalam beberapa pendapatnya banyak yang ditentang oleh beberapa kalangan umat islam, tak terkecuali mengenai syirik sendiri.
Syirik menurut pandangan quraish shihab dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Yaitu:
1.      Mendustakan agama.
2.      Tidak beriman terhadap hari akhir (hari kiamat)
3.      Mempersekutukan allah swt.
Dalam beberapa penafsiran mengenai syirik beliau sering kali memfokuskan syirik tersebut kepada penyembahan kepada selain allah, seperti peristiwa penyembahan orang nasrani terhadap nabi isa as, yang di anggap sebagai anak tuhan. Dapat difahami dari pandangan beliau yang ditemukan di tafsir al-misbah. Sebagai berikut:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلا تَقُولُوا ثَلاثَةٌ انْتَهُوا خَيْراً لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً
wahai ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, isa putera maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimatnya yang disampaikannya kepada maryam, dan (dengan tipuan) roh darinya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasulnya dan janganlah kamu mengatakan : (Tuhan itu) tiga, berhentilah (dari ucapan itu). (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang maha esa, maha suci Allah menjadi pemelihara”. (An-Nisa’ 171)
Dapat difahami ayat diatas bahwa syirik menurut pandangan beliau ialah sesuatu yang sangat melampaui batas, seperti anggapa orang nasrani menganggap bahwa selain allah swt sebagai tuhan terdapat tuhan anak dan tuhan ibu. Yakni eksistensi tuhan ada tiga namun substansinya satu. Nah pendapat beliau ini dapat diterima oleh setiap orang islam. Namun mengenai
B.     Persepsi Quraish Shihab Mengenai Jilbab

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيماً
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-ahzab: 59)
Dalam menafsirkan ayat ini beliau memiliki pandangan yang cukup anen dengan menyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, sebab ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki oleh ayat ini.
Disaping itu beliau mengulangi pandangannya dalam buku wawasan Al-Qur’an dan buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (pandangan ulama masa lalu dan cendekiawan kontenporer). Dalam bukunya, beliau mengatakan bahwa jilbab bagi wanita merupakan gambaran identitas seorang muslimah, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas. Dan beliau berpendapat bahwa meskipun ayat mengenai jilbab menggunakan redaksi perinta, namun tidak semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah Wajib. Demikian pula, menurut hadis-hadis mengenai perintah berjilbab bagi wanita merupakan perintah sebaiknya, bukan seharusnya.
Dan yang paling Urgen lagi beliau berpendapat bahwa jilbab adalah produk Budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Secara garis besar pendapat beliau dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama: jilbab adalah masalah khilafah. Kedua: ayat-ayat al-qur’an yang mengenai pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut  batasan aurat. Ketiga: perintah jilbab bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih terhadap budaya Lokal Arab dari pada kewajibab Agama.
Mengenai Kontroversi pendapat Quraish Shihab mengenai jilbab sendiri kami mempunyai pandangan bahwa setiap implementasi pemikiran seseorang pasti mempunyai Argumen, baik teksnya sama namun dalam menyingkapi penafsirannya pasti ada perbedaan. Disini kami akan menjawab dan menjadi pertimbangan kami dalam menyingkapi pendapat Quraish Shihab mengenai jilbab dengan beberapa landasan hukum, yang terdapat pada dua hal, yaitu:
1.      Dalam rangkaian sebelum dan sesudah Ayat jilbab dan Hijab dalam surat An-Nur dan Al-Ahzab menunjukkan bahwa alasan diwajibkannya memakai jilbab ialah demi Al-Hisymah (Menjaga Kehormatan Seorang Wanita Agar Tetapi Terpuji), bukan hanya untuk membedakan antara wanita merdeka dan hamba sahaya.
2.      Istilah Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an) dalam tradisi ulama islam tidak dimaksudkan untuk menggambarkan hubungan sebab akibat (Kuasalitas), yaitu jika peristiwa tersebut tidak turun, maka ayatnya tidak akan turu. Namun lebih berperan sebagai peristiwa yang mengiringi turunnya Ayat. Selain itu mengkhususkan Lafal ayat Al-Qur’an hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu, dan tidak bersifat umum.
Dari beberapa pembahasan mengenai jilbab kami mencoba menjawab dengan cara kami sendiri, yaitu tidak cenderung terhadap pendapat siapa saja, dan kami mencoba untuk menjawabnya secara bijak. Yaitu: setiap seseorang pasti mempunyai pendapat masing-masing mengenai permasalahan. Sebab Lebih banyak seorang muslim yang ada di indonesia pada khususnya mengetahui Al-Qur’an secara Tekstual, sehigga tidak jarang mereka tidak menyetujui adanya Mafhum dalam ayat Mutasyabihat. Dan pendapat kami ialah semuanya sama-sama benar, sebab mereka sama-sama berijtihat untuk kemaslahatan umat. Namun kebenaran hanya terdapat pada Allah semata, sebab beliaulah yang memberikan pikiran dan hukum dari beberapa teks redaksi yang menjadi acuan umat Islam sedunia. Quraish Shihab berpendapat bahwa jilbab merupakan anjuran. Akan tetapi ulama lainnya berpendapat seperti Ubaidah Qatadah, Hasan Basri, dan lainnya berpendapat bahwa jilbab merupakan kewajiban bagi seorang muslimah, sebab jilbab adalah cara muslimah menutupi auratnya.
C.    Persepsi Quraish Shihab Mengenai Amirul Mukmini
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ [4]:59)
Ayat ini memerintahkan manusia untuk saling menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, tolong menolong dan saling membantu sesamanya, taat kepada Allah dan Rasul, serta tunduk kepada ulil amri, menyelesaikan perselisihan berdasarkan nilai-nilai yang diajarkan al-Qur’an dan Sunnah.
Selain itu ayat ini juga memerintahkan kaum mukminin agar mentaati putusan hukum dari siapapun yang berwewenang menetapkan hukum.
Pendapat ulama’ berbeda pendapat tentang makna ulil amr. Dari segi bahasa, uli adalah bentuk  tersebut menunjukkan bahwa mereka itu banyak, sedang kata amr adalah perintah atau urusan . dengan demikian ulil amr adalah orang-orang yang berwewenang mengurus urusan kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang yang diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Ada yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa atau pemerintah. Ada juga yang mengartikan para ulama.
Menurut Quraish Shihab, bentuk jamak itu tidak mutlak dipahami dalam arti badan atau lembaga yang beranggotaan sekian banyak orang, tetapi bisa saja mereka terdiri dari orang perorang, yang masing-masing memilikiwewenang yang sah untuk memerintah dalam bidang masing-masing. katakanlah seorang polisi lalu lintas yang mendapat tugas dan pelimpahan wewenang dari atasanya untuk mengatur lalu lintas. Ketika menjalankan tugas tersebut, dia berfungsi sebagai salah seorang ulil amri. Wewenang yang diperoleh baik sebagai badan maupun perorangan, bisa bersumber dari masyarakat yang akan diatur urusan mereka – katakanlah melalui pemilihan umum – dan bisa juga melalui pemerintah yang sah, yang menunjuk kelompok orang atau orang tertentu untuk menangani satu urusan.
Ulama dan cendikiawan yang jujur adalah orang-orang yang memiliki otoritas dibidangnya. Bagi mereka, tidak perlu ada penunjukan dari siapapun, karena ilmu dan kejujuran tidak memerlukannya. Masyarakat sendiri dengan meneladani dan merujuk kepada mereka berdasarkan pengalaman masyarakat selama ini, yang langsung memberi wewenang tersebut secara factual, walau tidak tertulis.
Maka dalam ayat 59 ini ditetapkan kewajiban atas masyarakat untuk taat kepada ulil amr, walaupun sekali lagi harus digarisbawahi penegasan Rasul SAW bahwa: ( لا طا عة لمخلق في معصية الخالق ) tidak dibenarkan taat kepada seorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Kholiq. tetapi, bila ketaatan kepada ulil amr tidak mengandung atau mengakibatkan kedurhakaan, maka mereka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak berkenan dihati yang diperintah. Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda: “Seorang muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang diperintahkan oleh ulil amri) suka atau tidak suka. Tetapi, bila ia diperintahkan berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkanankan, tidak juga taat” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Ibnu Umar).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer