TEOLOGI PROGRESIF SEBAGAI SEBUAH PERSPEKTIF ALTEMATIF
OLEH : IBRAHIM MUCHLIS
Telah
diakui bahwa setiap agama selalu menaawarkan sebuah keselamatan dan menjanjikan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, tapi pengakuan tersebut bersifat
normatif, dan sering kali tidak didukung oleh aktual dan beberapa bukti
empiris. Sejarah dari beberapa agama mutakhir, justru menyuguhkan suatu
realitas yang berbeda-beda. Agama dengan sebuah tujuan adiluhur yang diusungnya
sering kali terperangkap pada keagamaan dalam menyesasaikan berbagai masalah
kemanusiaan ditangan para penganutnya.
Problematika
kemanusiaan yang terus menjalar, terkadang terbiarkan tanpa kehadiran tawaran
solusi yang soluktif dari kaum agamawan. Beberapa problem kemanusia yang
bersifat lintas bataspun sering terlewatkan dari citra keberagamaan. Sementara
perbincangan dan orientasi keberagamaan yang berlangsung masih bertendensi pada
model keberagamaan yang melangit. Agamapun telah dimaknai sebagai institusi
pelayanan terhadap Tuhan (Teosentris) yang dijauhkan dari orientasi pelayanan
terhadap manusia (Antroposentris). Terdapat sebuah agenda utama dari pemaknaan
dan pigmen keagamaan tersebut ialah dapat memperbanyak jumlah rumah ibadah,
seraya merayakan ritualisme sebagai persembahan pada Tuhan semata.
Namun
gemuruh perngajian lebih dominan berisikan pembelaan terhadap Tuhan sebagai
sebuah bukti kesetiaan yang hanya terpacu kepadanya, dengan mengabaikan hal
yang nyaris sempurna terhadap pembelaan bagi kaum tertindas. Ruang
perdebatanpun gaduh dengan upaya pembuktian kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Hal
tersebut menjadi sebuah pertanyaan dan kegusangan bagi sejumlah pemikir muslim
progresif dalam membaca tresn sejarah pemikir keagamaan. Persoalan kemanusiaan
tersebut cenderung sepi dari perbincangan teologis, kemampuannyapun dikerahkan
sedemikian rupa guna membentengi singgasana Tuhan agar tidak terkotori oleh
beberapa tangan manusia yang berdosa. Padahal, kebesaran Tuhan tidak akan surut
sedikitpun dengan banyaknya dosa yang diperbuat oleh manusia itu sendiri.
Sikap
menjunjung tinggi agama keatas langit hanya akan menjauhkan agama dari
realitgas kemanusiaan dengan segala problematika dibumi. Sekarang tiba saatnya
bagi kita untuk mengonvesikan teologi ketuhanan menjadi teologi kemanusiaan,
hal tersebut sejenis dengan teologi yang memberikan perhatian besar terhadap
beberapa persoalan kemanusiaan. Dengan bahasa yang berbeda, Hasan Hanafi dalam
karya monumentalnya yaitu Min al-Aqidah Ila al-Tsawrah menginstruksikan
kita agar segera mengubah teologi langit menjadi teologi bumi. Bumi tempat
tinggal manusia haruslah selalu menjadi pijakan kita dalam beragama, sebab
Allah SWT bukan hanya raja di satu tempat, melainkan Allah SWT menjadi raja
diseluruh alam, salah satunya bumi. Allah SWT bukan hanya Tuhan para malaikat,
tapi Allah SWT juga Tuhan bagi manusia dan makhluk yang ada dibumi.
Gagasan
mengenai teologi bumi diatas akan lebih menggena dengan bahasa yang lazim yaitu
praksis. Beragama secara praksis berarti mengaktulisasi beberapa inti nilai
keagamaan dalam kenyataan yang konkret di masyarakat. Prinsip pembebasan
keadilan, dan persamaan derajat merupakan deretan nilai etis dan moral yang
mendasari kelahiran beberapa agama-agama besar didunia ini. Orientasi keagamaan
dan model pemahaman atas agama sudah semestinya digeser kearah yang lebih
praktis. Maksud dari pemahaman disini ialah pehaman yang berbasis pembebasan
dengan kelompok yang tertindas sebagai fokus perhatiannya. Paradigma ini meniscayakan
agar kitab suci tidak hanya dilakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah
kurikulum sekolah dan proposal dari sebuah penelitian, melainkan disikapi
sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik dan moral bagi perubahan
masyarakat. Dengan demikian, agama bukan saja berisikan ajaran suci mengenai
mantra ketuhanan atau dimensi Ukhrawiyah, tapi juga berperan untuk
menafsirkan realitas sosial secara krtitis dan transformatif.
Dalam
perspektif Islam sangatlah jelas bahwa al-Qur’an datang tidak dengan semangat
mengabsahan realitas, tapi untuk mengubahnya. Islam yang berlandaskan al-Qur’an
ialah sejenis Islam yang memiliki concern pada beberapa upaya penegakan
keadilan sosial dengan aksentuasi utama guna membebaskan beberapa kelompok yang
tertindas, baik diranah politik, sosial, bahkan dalam ranah ekonomi sekalipun.
Islam tidak hanya berupa karnval ibadah personal yang mahdah, tapi juga
berupa ekspresi ibadah sosial yang ghairu mahdhah. Agama secara
praktis menurut kesungguhan dan keseriusan, sehingga beberapa idealisme agama
yang bungkam dapat menjadi kenyataan hidup dan bersuara. Agama bukan hanya
bermuatan gugusan simbol ritus yang beku, melainkan konstruksi kerja perubahan
dan pembebasan masyarakat, terutama mereka yang tertindas secara politis, sosial,
budaya dan ekonomi. Agama tidak boleh lagi berfungsi sebagai alat pemberi
legitimasi pada struktur masyarakat yang tidak adil. Pada akhirnya,
keberagamaan secara praktis bukanlah pekerjaan mudah, hal tersebut diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dengan melipat gandakan kerja perubahan dalam terang
sinar agama. Beragama secara praktis berarti pendaratan ruh agama pada beberapa
pangkalan masyarakat hingga dilevel bawah. Agama seharusnya ditampilkan dalam
sosok yang humanis, pluralis, progresif dan transformatif. Dalam kisahnya agama
selalu hadir dengan berbagai makna praktis tersebut atau Islam bervisi
progresif.
0 komentar:
Posting Komentar