Breaking News
Loading...
Jumat, 13 Desember 2013

TEOLOGI PROGRESIF SEBAGAI SEBUAH PERSPEKTIF ALTEMATIF

Jumat, Desember 13, 2013


TEOLOGI PROGRESIF SEBAGAI SEBUAH PERSPEKTIF ALTEMATIF
OLEH : IBRAHIM MUCHLIS
Telah diakui bahwa setiap agama selalu menaawarkan sebuah keselamatan dan menjanjikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, tapi pengakuan tersebut bersifat normatif, dan sering kali tidak didukung oleh aktual dan beberapa bukti empiris. Sejarah dari beberapa agama mutakhir, justru menyuguhkan suatu realitas yang berbeda-beda. Agama dengan sebuah tujuan adiluhur yang diusungnya sering kali terperangkap pada keagamaan dalam menyesasaikan berbagai masalah kemanusiaan ditangan para penganutnya.
Problematika kemanusiaan yang terus menjalar, terkadang terbiarkan tanpa kehadiran tawaran solusi yang soluktif dari kaum agamawan. Beberapa problem kemanusia yang bersifat lintas bataspun sering terlewatkan dari citra keberagamaan. Sementara perbincangan dan orientasi keberagamaan yang berlangsung masih bertendensi pada model keberagamaan yang melangit. Agamapun telah dimaknai sebagai institusi pelayanan terhadap Tuhan (Teosentris) yang dijauhkan dari orientasi pelayanan terhadap manusia (Antroposentris). Terdapat sebuah agenda utama dari pemaknaan dan pigmen keagamaan tersebut ialah dapat memperbanyak jumlah rumah ibadah, seraya merayakan ritualisme sebagai persembahan pada Tuhan semata.
Namun gemuruh perngajian lebih dominan berisikan pembelaan terhadap Tuhan sebagai sebuah bukti kesetiaan yang hanya terpacu kepadanya, dengan mengabaikan hal yang nyaris sempurna terhadap pembelaan bagi kaum tertindas. Ruang perdebatanpun gaduh dengan upaya pembuktian kekuasaan dan kebesaran Tuhan. Hal tersebut menjadi sebuah pertanyaan dan kegusangan bagi sejumlah pemikir muslim progresif dalam membaca tresn sejarah pemikir keagamaan. Persoalan kemanusiaan tersebut cenderung sepi dari perbincangan teologis, kemampuannyapun dikerahkan sedemikian rupa guna membentengi singgasana Tuhan agar tidak terkotori oleh beberapa tangan manusia yang berdosa. Padahal, kebesaran Tuhan tidak akan surut sedikitpun dengan banyaknya dosa yang diperbuat oleh manusia itu sendiri.
Sikap menjunjung tinggi agama keatas langit hanya akan menjauhkan agama dari realitgas kemanusiaan dengan segala problematika dibumi. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengonvesikan teologi ketuhanan menjadi teologi kemanusiaan, hal tersebut sejenis dengan teologi yang memberikan perhatian besar terhadap beberapa persoalan kemanusiaan. Dengan bahasa yang berbeda, Hasan Hanafi dalam karya monumentalnya yaitu Min al-Aqidah Ila al-Tsawrah menginstruksikan kita agar segera mengubah teologi langit menjadi teologi bumi. Bumi tempat tinggal manusia haruslah selalu menjadi pijakan kita dalam beragama, sebab Allah SWT bukan hanya raja di satu tempat, melainkan Allah SWT menjadi raja diseluruh alam, salah satunya bumi. Allah SWT bukan hanya Tuhan para malaikat, tapi Allah SWT juga Tuhan bagi manusia dan makhluk yang ada dibumi.
Gagasan mengenai teologi bumi diatas akan lebih menggena dengan bahasa yang lazim yaitu praksis. Beragama secara praksis berarti mengaktulisasi beberapa inti nilai keagamaan dalam kenyataan yang konkret di masyarakat. Prinsip pembebasan keadilan, dan persamaan derajat merupakan deretan nilai etis dan moral yang mendasari kelahiran beberapa agama-agama besar didunia ini. Orientasi keagamaan dan model pemahaman atas agama sudah semestinya digeser kearah yang lebih praktis. Maksud dari pemahaman disini ialah pehaman yang berbasis pembebasan dengan kelompok yang tertindas sebagai fokus perhatiannya. Paradigma ini meniscayakan agar kitab suci tidak hanya dilakukan sebagai kisi-kisi yang memadati sejumlah kurikulum sekolah dan proposal dari sebuah penelitian, melainkan disikapi sebagai teks yang akan memberikan sinaran etik dan moral bagi perubahan masyarakat. Dengan demikian, agama bukan saja berisikan ajaran suci mengenai mantra ketuhanan atau dimensi Ukhrawiyah, tapi juga berperan untuk menafsirkan realitas sosial secara krtitis dan transformatif.
Dalam perspektif Islam sangatlah jelas bahwa al-Qur’an datang tidak dengan semangat mengabsahan realitas, tapi untuk mengubahnya. Islam yang berlandaskan al-Qur’an ialah sejenis Islam yang memiliki concern pada beberapa upaya penegakan keadilan sosial dengan aksentuasi utama guna membebaskan beberapa kelompok yang tertindas, baik diranah politik, sosial, bahkan dalam ranah ekonomi sekalipun. Islam tidak hanya berupa karnval ibadah personal yang mahdah, tapi juga berupa ekspresi ibadah sosial yang ghairu mahdhah. Agama secara praktis menurut kesungguhan dan keseriusan, sehingga beberapa idealisme agama yang bungkam dapat menjadi kenyataan hidup dan bersuara. Agama bukan hanya bermuatan gugusan simbol ritus yang beku, melainkan konstruksi kerja perubahan dan pembebasan masyarakat, terutama mereka yang tertindas secara politis, sosial, budaya dan ekonomi. Agama tidak boleh lagi berfungsi sebagai alat pemberi legitimasi pada struktur masyarakat yang tidak adil. Pada akhirnya, keberagamaan secara praktis bukanlah pekerjaan mudah, hal tersebut diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dengan melipat gandakan kerja perubahan dalam terang sinar agama. Beragama secara praktis berarti pendaratan ruh agama pada beberapa pangkalan masyarakat hingga dilevel bawah. Agama seharusnya ditampilkan dalam sosok yang humanis, pluralis, progresif dan transformatif. Dalam kisahnya agama selalu hadir dengan berbagai makna praktis tersebut atau Islam bervisi progresif.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Toggle Footer