4
Prinsip Membangun Sistem
Definisi
& Fungsi
Soal membangun sistem ini kerapkali menjadi topik utama
dalam pembicaraan tentang organisasi. Orang
sering membicarakannya tak hanya di forum resmi, seperti seminar, internal meeting, training,
workshop, dan seterusnya. Tetapi juga di
tempat-tempat di mana ada pertemuan atau perjumpaan bisa dilakukan. Mungkin seperti di pinggir jalan,
di tempat makan, atau di kawasan toilet.
Dimanapun dibahas, intinya sama: membangun sistem ini merupakan persoalan vital dalam
organisasi. Kalau merujuk pada pengertian dasarnya,
membangun sistem berarti membentuk
interaksi secara reguler atau mengusahakan kesaling-bergantungan antargroup atau item supaya menjadi kesatuan
yang
menyeluruh
untuk bekerja mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sistem kerja di organisasi itu sama seperti sistem
yang bekerja pada mesin kendaraan. Agar kendaraan bisa bekerja sesuai dengan yang kita
inginkan, system harus
aktif. Jika ada salah satu item atau elemen yang tidak bekerja-menyatu pada sistem, pasti
kendaraan itu jalannya tidak seperti yang kita inginkan. Pasti akan terasa "there is
something less or wrong". Ketika konteksnya adalah organisasi
manusia, maka sistem di sini punya fungsi antara lain:
1.
Membentuk
perilaku individu dalam organisasi Perilaku individu tak cukup dibentuk dengan pengetahuan.
Seandainya itu cukup, pasti semua individu dalam
perusahaan akan berperilaku sama. Mengapa? Karena semua orang (kecuali sebagian kecil) sudah
tahu apa yang baik, apa yang benar dan apa yang
bermanfaat untuk dilakukan. Tetapi prakteknya tidak begitu. Artinya, diperlukan sistem yang
bekerja untuk membantu individu menjalankan apa yang
sudah diketahuinya supaya sejalan dengan visi-misi organisasi.
2.
Membentuk
standar kualitas operasi organisasi Kita pasti sepakat bahwa pelaku usaha di dunia ini sudah
tahu kalau keuntungan / profit itu dihasilkan dari
benefit yang diberikan kepada pelanggan
atau pembeli. Agar benefit yang diberikan itu berkualitas, tidak asal-asalan apalagi merugikan,
dibutuhkan sistem kerja yang sudah terstandar. Lemahnya sistem kerap membuat suatu usaha itu
tidak sanggup memberikan benefit kepada pelanggan,
meski semua orang di situ sudah tahu
kalau profit itu didatangkan dari benefit. Sistem di sini berfungsi untuk men-stadar-kan benefit yang harus
diberikan kepada pelanggan atau pembeli
berdasarkan kualifikasinya masing-masing.
3.
Menentukan
standar kualitas orang, Ketika
saya masih bekerja di perusahaan pariwisata dulu, kerap saya mendengar penilaian umum yang diberikan
kepada orang-orang tertentu yang keluar dari perusahaan tertentu. Mereka menilai, orang-orang
yang sudah pernah bekerja di perusahaan A beberapa
tahun dianggap sudah menguasai sekian
keahlian. Dengan begitu, harganya mahal kalau pengalamannya digunakan untuk bekerja di tempat lain.
Artinya, karena perusahaan A ini punya sistem yang sudah lebih bagus dari yang lain, sehingga
orang-orang yang bekerja di situ tak hanya
mendapatkan imbalan uang semata, tetapi juga mendapatkan standar kualitas tertentu yang berharga. Di
sini, organisasi memainkan sedikitnya dua hal, yaitu menjadi lahan untuk mencari uang, dan menjadi lahan pendidikan
(self-education). Fakta ini juga dapat kita jumpai pada sekolah atau lembaga tertentu. Yang
membuat sekolah itu beda dalam penilaian orang
lain terkadang bukan materi pelajarannya
tetapi sistem yang diterapkan di sekolah itu.
Ketiga hal di atas barulah sebatas sebagian dari sekian fungsi
system dalam organisasi. Intinya, memiliki
sistem kerja yang bekerja (the system
that works) adalah dambaan bagi semua pemimpin organisasi. Empat Prinsip Ketika saya katakan prinsip berarti ini
bukan strategi yang bias dipilih
antara: dijalankan atau diabaikan. Prinsip hanya menyediakan satu pilihan yang terangkum dalam Hukum
Sebab-Akibat. Kalau kita memilih menjalankan, akibatnya adalah mendapatkan (hasil, pahala,
dst). Kalau kita memilih mengabaikan, akibatnya
adalah tidak mendapatkan. Cuma itu pilihannya. Tak ada tawar menawar atau pilihan. Prinsip
adalah terjemahan dari hukum-hukum Tuhan yang
sudah baku di
dunia ini. Bahasa atau
istilah untuk menyebutnya bisa bermacam-macam, tetapi esensinya tetap itu-itu juga. Dari
sekian seminar atau diskusi yang saya hadiri, entah dengan para pengamat, pakar
SDM atau praktisi SDM, saya ingin memilih istilah-istilah tertentu untuk
sekedar menjelaskan hukum Tuhan di atas. Pemilihan istilah itu saya maksudkan: hanya untuk sekedar mudah
diingat
saja, dan referensi bagi siapapun yang berkepentingan untuk menciptakan budaya, menciptakan sisitem
dalam sebuah organisasi apapun. Istilah-istilah
yang saya katakan prinsip itu adalah:
1.
Komitmen.
Komitmen
yang saya maksudkan di sini adalah bentuk nyata dari sebuah kesungguhan, dari mulai level menggagas
sampai level menjalankan, from the
world of word to the world of action, dari konsep ke praktek. Sebagus apapun desain rencana atau
strategi yang kita rumuskan untuk membangun sistem, akan sia-sia kalau komitmen ini hilang.
Anda bias mengganti istilah yang saya pilih ini
menjadi apa saja, tetapi ketika bicara
membangun sistem, tak mungkin Anda bisa menghilangkan esensi kalimat kesungguhan di sini.
Kesungguhan yang dibuktikan oleh atasan akan menjadi teladan bagi yang lain. Teladan bukan salah
satu cara mendidikan orang tetapi satu-satunya.
Kesungguhan yang dilakukan oleh bawahan
akan memperkuat komitmen atasan. Kesungguhan yang dijalankan oleh atasan dan bawahan akan membentuk
sistem.
2. Kelayakan untuk dipercaya
(credibility).
Untuk
membangun sistem dibutuhkan kehadiran orang yang kredibel menurut sistem yang dibangunnya. Membangun
sistem kerja dibutuhkan orang yang ahli di bidang itu. Membangun sistem usaha dibutuhkan orang
yang ahli di bidang itu. Membangun sistem keluarga
dibutuhkan orang yang ahli atau tahu
banyak dan punya pengalaman banyak di bidang itu. Sepertinya tidak ada sebuah sistem yang berhasil
dibangun oleh orang yang memang kurang kredibel. Kredibilitas
yang saya maksudkan di sini bukan saja kredibel dalam hal keahlian profesional saja, tetapi juga
kredibel dalam pengertian kekuatan
moral-spiritual, seperti misalnya kejujuran, ke-amanah-an, ketaatan, dan lain-lain. Abraham
Lincoln berkesimpulan, tak ada yang bisa dibangun di atas pondasi pelanggaran. Bahkan, seperti
yang dibuktikan praktek hidup, kalau pun
ada, itu sifatnya hanya sementara, bagai busa yang cepat menghilang. Meminjam istilah
Ronggowarsito, biarpun kelihatannya bejo (safe),
tetapi akan berakhir dengan celoko atau molo (danger and damage).
3. Komunikasi
Membangun
sistem juga membutuhkan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi yang saya maksudkan di sini adalah
menyampaikan pesan kepada orang lain (the meaning) tentang ide-ide yang menyangkut sistem itu.
Adapun tehniknya bisa bermacem-macam,
tergantung yang kita pilih, tergantung keadaan, atau tergantung lingkungan. Dalam organisasi, tak
mungkin ada orang yang sanggup membangun sistem
sendirian. Dan lagi, yang namanya sistem itu pasti menyangkut orang lain. Hubungan kita dengan
orang lain menjadi aktif karena komunikasi, entah
dalam bentuk apapun.
4. Kecerdasan
Prinsip
terakhir adalah kecerdasan. Membangun sistem membutuhkan kecerdasan. Meminjam pengertian yang
dimunculkan oleh Howard Gardner dalam
"Multiple Intelligence", kecerdasan di sini berarti kemampuan memecahkan masalah di lapangan dengan
cara-cara, tehnik-tehnik, atau strategi-strategi
yang selalu lebih baik. Ini berarti mencakup kreativitas, menambah pengetahuan, menambah keahlian,
kesadaran menghilangkan kebodohan, kesadaran
mengurangi kelemahan, belajar tentang bagaimana belajar, dan lain-lain. Mengapa
kecerdasan juga prinsip? Salah satau alasannya adalah, tidak ada orang yang
langsung punya komitmen kuat, tidak ada orang yang langsung punya kredibilitas
tinggi, tidak ada orang yang punya kemampuan komunikasi yang canggih, dan juga,
tidak ada sistem yang langsung solid begitu hendak dibangun. Semua itu, menurut Hukum Tuhannya
diperoleh dengan cara mengasah kecerdasan. Kata
Ratu Elizabeth (secara simbolik): "Butuh tetesan keringan (sweat), butuh tetesan air mata
(tears), dan butuh tetesan darah (blood)."
Masalah di lapangan
Berdasarkan keempat prinsip di atas, ada beberapa masalah yang
kerap kita jumpai di lapangan. Masalah inilah
yang sering mengakibatkan usaha kita
untuk membangun sistem gagal di tengah jalan. Masalah itu pasti banyak dan sebagiannya kira-kira bisa
kita ambil contoh seperti berikut ini:
1)
Hanya
pernyataan belaka.
Semua
pemimpin dan anggota organisasi berkepentingan untuk membangun sistem. Tetapi kepentingan untuk
membangun ini baru diwujudkan ke dalam apa yang saya sebut dengan pernyataan. Misalnya saja:
pernyataan mulut, pernyataan
tulisan (konsep, rencana, pokok-pokok pikiran, dst), penyataan keinginan (harapan, himbauan,
hasrat, kritik, dst). Semua
orang akan sepakat dengan saya bahwa pernyataan seperti di atas tidak bisa diandalkan untuk membangun
sistem. Benar, bahwa membangun sistem
perlu diawali dengan rumusan yang matang tetapi sejauh apapun rumusan itu dibuat, tetap saja harus
diakhir dengan pembuktian (action) sebagai awal dari proses menuju realisasi.
2) Lemah Karakter
Lemahnya
karakter moral dan mental yang kita miliki, akan menjadi masalah sendiri. Seperti yang sudah
kita bahas di muka, membangun system membutuhkan kepercayaan dari orang lain. Agar orang lain
bisa trust, dibutuhkan kredibilitas. Kredibilitas
ini tentu tidak bisa didapatkan dari
khayalan. Kredibilitas moral didapatkan dari usaha kita untuk memperkuat karakter moral. Kredibilitas
profesional didapatkan dari usaha
kita untuk memperkuat karakter mental (kemauan menambah pengetahuan, pengalaman, dan keahlian).
Dari dua
karakter inilah yang kemudian menyebar ke power, posisi, kepemilikan, reward, dan lain-lain.
Bahkan kalau dilihat dari praktek hidup, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika seseorang hanya
ahli saja tetapi moralnya rusak atau minus,
kepercayaan orang lain masih kurang. Sebaliknya, jika
seseorang hanya bermoral saja, soleh saja, atau baik saja, tetapi keahliannya
minus atau rendah, kepercayaan orang lain juga masih kurang.
3) Me-mekanis-kan hubungan
Seperti yang
sudah kita bahas di muka, membangun sistem butuh komunikasi dengan manusia lain dalam pengertian
yang luas. Atau bisa dipendekkan dengan istilah menjalin hubungan. Ketika konteksnya adalah
membangun sistem, hubungan manusia ini tidak bisa
di-mekanis-kan seperti kita menjalin
hubungan dengan mesin. Mesin itu, apapun namanya, hanya punya dua kendali prinsip: on dan off
(diaktifkan atau dimatikan). Artinya tidak ada mesin yang punya inisiatif sendiri untuk
mengaktifkan dirinya atau
mematikan dirinya. Ini
akan berbeda dua ratus derajat dengan manusia. Manusia bias di-on-kan oleh perintah dan bisa
di-off-kan dengan larangan tetapi juga punya inisitif, kepentingan dan punya keadaan spesifik yang
sifatnya "sendiri". Karena itu, tidak
bisa kita mengajak orang lain untuk terlibat dalam usaha membangun sistem dengan menggunakan
pendekatan seperti kita memperlakukan mesin.
Artinya, dibutuhkan berbagai macam strategi, tehnis, cara atau metode untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Tidak hanya one-off atau one
on-off.
4) Salah memahami problem
What is the
problem? Menurut definisi yang sudah dibakukan oleh teori manajemen, problem adalah penyimpangan
yang muncul (deviasi). Dalam teori,
pasti tidak ada orang yang tidak tahu atau tidak ada orang yang tidak bisa memehamai definisi itu.
Semua orang akan tahu dan bias dipahamkan
tentang what is the problem. Tetapi
akan lain ketika kita bicara bagaimana problem itu dipahami dalam praktek. Gagalnya proses membangun
sistem karena kurang bisa memahami definisi problem dalam praktek. Seperti apakah problem itu
harus dipahami dalam praktek? Problem adalah
penyimpangan dan penyimpangan yang
muncul adalah akibat dari usaha, melakukan sesuatu atau menjalani proses pembuktian. Begitu penyimpangan
muncul, timbullah tanda tanya. Tanda
tanya inilah yang mendorong kita untuk menemukan solusi. Solusi yang kita temukan berdasarkan problem
inilah yang menghasilkan perbaikan demi perbaikan. Belajar dari pengalaman para pengusaha yang pernah
diwawancarai oeh Harvard
Business School,
problem dalam pengertian seperti di atas akan sangat berguna dalam proses pengambilan keputusan usaha atau
bisnis. Dengan mengacu pada problem ini, maka
keputusan dan solusi menjadi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan keadaan. Di sinilah
kecerdasan kita akan
terasah berdasarkan keadaan kita, bukan keadaan orang lain atau organisasi lain. Kebanyakan kita belum melakukan sesuatu
secara optimal, tiba-tiba merasa punya problem. Itupun terkesan "didramatisir"
seolah-olah problem itu sebesar
gunung akan meletus atau sepanjang Tembok Cina yang tak mungkin ditembus. Berdasarkan praduga perasaan
ini, kita lantas mendatangkan solusi
dengan cara: menambah fasilitas, menciptakan kondisi, menciptakan lingkungan (environment-ing), membuat
peraturan yang aneh-aneh (en-ruling),
dan lain-lain. Akhirnya, banyak fasilitas yang tidak terpakai, banyak peraturan yang berubah
menjadi dokumen lusuh, dan kecerdasan
kita tidak terlatih secara bertahap. Saya yakin bahwa hukum bermain musik yang sudah dibuktikan
para musisi besar di dunia ini juga berlaku untuk
semua hal, termasuk dalam hal membangun
sistem usaha. Hukum itu mengatakan, the best technique is always not in the book. Not in the book
maksudnya adalah akan ditemukan oleh
Anda dari usaha Anda dalam melakukan sesuatu untuk mengatasi problem atau melakukan sesuatu untuk
berkreasi (to create something). Selama tidak ada yang kita lakukan, problem itu bukan
problem tetapi merasa punya problem atau kita yang
ber-problem. Semoga berguna!
Have
a positive day!
0 komentar:
Posting Komentar